Benarkah Ibu Tunggal adalah Orang tua yang Gagal?

Senin, 12 Juli 2021


Singa tidak menoleh sedikit pun ketika anjing mengonggong di belakangnya. Tidak. Tetap berjalan mantap. Maka, belajarlah dari nasihat lama ini, kita tidak perlu menoleh sedikit pun ketika orang-orang berisik sekali menilai, berkomentar tentang kita. Teruslah fokus, lakukan yang terbaik, besok lusa, orang-orang akan tahu mana singa betulan, mana anjing yang suka menyalak menganggu.  (Tere Liye)


Di awal menyandang status ibu tunggal karena cerai hidup, mungkin bisa dikatakan saya masih bermental tempe saat beberapa orang mulai kepo atau menggunjing status tersebut. Bahkan tak jarang saya juga mulai baper dan merasa menjadi perempuan tak berharga.


Namun seiring dengan berjalannya waktu, saya mencoba belajar ikhlas dan membiarkan orang-orang yang mempertanyakan kenapa saya harus bercerai atau pertanyaan-pertanyaan lainnya yang terkesan menyudutkan status ibu tunggal. Saya anggap seperti anjing menggongong saja.


Sebenarnya wajar sih mereka menggunjing status ibu tunggal. Terlebih masyarakat kita masih memandang rendah status ini. Para ibu tunggal kerap dicap negatif. Tidak sedikit yang berpikiran janda (sebutan kasar yang nggak ingin saya dengar. Hahaha) acapkali dipandang sebagai perusak rumah tangga orang. Apalagi dibarengi dengan meme gurauan yang tujuannya menghibur, tetapi justru meme tersebut sejatinya sangat melukai hati para ibu tunggal. 


Belum lagi stigma negatif yang ditujukan kepada anak-anak yang orangtuanya bercerai. Banyak yang menganggap anak hasil broken home tidak menjadi anak yang berhasil karena dididik oleh ibu tunggal yang terluka batinnya. Dampak psikologis yang dialami ibu tunggal pastilah memengaruhi gaya parenting pada anak. Benarkah?


Sungguh miris jika masih ada yang memiliki pemikiran  seperti itu. Apalagi jika ada di dalam benak para orang tua masa kini. 


Meski bukan rahasia umum jika anak broken home akan mengalami gangguan kesehatan mental akibat perceraian orang tua. Indian Journal of Psychological Medicine juga menyebutkan ada hubungan erat antara perpisahan dengan gangguan depresi anak. Biasanya disebabkan alasan sosial dan ekonomi. 


Tapi bagaimana jika risiko mengalami masalah sosial dan ekonomi sangatlah kecil atau bahkan tidak pernah, bukankah anak broken home masih memiliki kesempatan menjadi anak bahagia dalam asuhan ibu tunggal? Mereka juga bisa menjadi anak berprestasi dan membanggakan. 


Kesimpulannya, adalah tergantung pola pikir dan cara mengasuh orang tua tunggal. Bukan status pernikahan yang menjadi hambatannya. Benar nggak? 


Baiklah, mungkin saya harus memberikan contoh terkait pengasuhan ibu tunggal yang tepat, pun tidak menutup kemungkinan anak bisa berhasil di masa depan. 


Sebutlah Barack Obama, mantan presiden Amerika ini juga dididik oleh ibu tunggal sejak balita. Michael Phelps, seorang atlet renang yang menjuarai beberapa ajang olimpiade, yang ternyata di balik kesuksesannya ada Deborah Phelps, sang ibu tunggal yang luar biasa. Atau Jeffrey Preston Bezos, pengusaha terkaya di dunia sepanjang sejarah modern. Kekayaannya mencapai US$ 165 milliar, juga seorang pendiri, chairman, CEO sekaligus pemilik saham mayoritas perusahaan teknologi terbesar di dunia amazon.com. Ternyata, sejak usia 17 bulan, dia hanya diasuh oleh ibunya saja. 


Nah, dari tiga tokoh ternama di atas, apakah masih pantas memberikan stigma negatif anak yang diasuh ibu tunggal tidak bisa sukses? Apakah anak yang dididik oleh orang tua tunggal dikatakan gagal?


"Mbak Malica, Mbak nggak bisa mengubah masa lalu yang sudah terjadi. Yang mbak bisa ubah dan perbaiki adalah masa depan. Maka dari itu, saya sarankan fokus pada pertumbuhan anak-anak. Bagaimana mbak bisa mendidik mereka menjadi anak yang bisa dibanggakan banyak orang tanpa memandang status ibunya sebagai janda. Bagaimana anak mbak nanti bisa sukses karena didikan mbak yang sarat ilmu."


Bahkan karena saya termakan oleh stigma negatif soal anak hasil broken home, saya pun melakukan konsultasi dengan salah satu psikolog. Dan jawabannya seperti di atas. 


Sungguh, sebuah jawaban yang sangat mendamaikan. Hingga terbesit keinginan untuk membuat artikel ini, saya ingin bercerita bagaimana saya belajar menjadi ibu yang tidak gagal mendidik anak, walaupun saya sudah gagal menjadi seorang istri.


Ibu Tunggal Tidak Berbeda dengan Ibu pada Umumnya


Saya tidak bisa marah jika ada seseorang yang mengatakan pada anak saya, bahwa ternyata mereka diasuh oleh ibu tunggal. Lagipula marah untuk apa? 


Toh, faktanya memang begitu. Kecuali jika omongan orang tersebut sudah melebihi batas, seperti misal bertanya tentang kenapa bapaknya nggak pernah ke rumah dan nggak kasih nafkah ke anak saya. Di situ saya harus mulai mengambil tindakan. Sebab, pertanyaan tersebut sangat tidak pantas ditanyakan ke anak saya yang saat ini masih berusia 8 dan 6 tahun. Bagaimanapun usia mereka ini masih sangat rentan untuk menyaring omongan. 


Nah, demi menjaga emosi saya tetap stabil dari godaan omongan ngga enak soal ibu tunggal, saya pun belajar dari bukunya Mark Manson yang berjudul Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat. Dalam bukunya ada sebuah ungkapan:


Menemukan sesuatu yang penting dan bermakna dalam kehidupan Anda, mungkin menjadi cara yang paling produktif untuk memanfaatkan waktu dan tenaga Anda. Karena jika Anda tidak menemukan sesuatu penuh arti, perhatian Anda akan tercurah untuk hal-hal yang tanpa makna dan sembrono. 


Makanya, daripada saya fokus pada stigma negatif ibu tunggal yang entah kapan akan berakhir. Lebih baik saya menggali skill agar bisa menikmati hidup bahagia. Karena dari kebahagiaan tersebut saya akan lebih bijaksana dalam mendidik anak-anak. Saya memancarkan aura positif pada gaya parenting yang saya terapkan pada anak-anak.


saya ingin membuktikan pada semua orang jika ibu tunggal tidak berbeda dengan ibu lainnya, juga saya ingin sekali menghapus stigma negatif yang melekat pada ibu tunggal terkait gagal dalam mendidik anak. Saya pun mulai menerapkan konsep dari seorang psikolog bernama Ratih Ibrahim, S.Psi,MM. 


Menurutnya, tiga poin penting dalam parenting adalah merawat, mengasuh dan mendidik. Jadi, untuk mewujudkan tiga poin tersebut agar berhasil, maka ada konsep yang harus dilakukan. Konsep Ratih tersebut dinamakan konsep 5K, yaitu:


1. Kasih Sayang


Kurang lebih maksud dari kasih sayang di sini adalah ibu harus menyediakan tangki cinta yang penuh untuk anak-anaknya. Seperti dengarkan cerita anak, memeluk dan mencium mereka dengan penuh cinta yang dilakukan setiap hari.


2. Konsekuensi


Ibu harus mendidik anak terkait dua hal, yakni terkait perbuatan baik maupun buruk pasti ada dampaknya di masa depan.


3. Konsisten


Mengajarkan anak untuk bersikap konsisten juga penting. Menurut Ratih, konsistensi ini akan melatih tanggung jawab anak tanpa mengubah prinsip sendiri.


4. Kekompakan


Membangun kekompakan pada anak sangatlah penting. Jika antara orang tua dan anak bisa kompak, maka mereka akan saling menguatkan satu sama lain. 


5. Kompromi


Parenting adalah pengasuhan anak yang mendukung fisik, emosional, sosial serta perkembangan kecerdasan anak dari bayi sampai dewasa. Untuk itulah menjadi orang tua nggak harus saklek. Ibu harus bisa berdiskusi dengan anak dalam hal apapun jika memang menyangkut urusan bersama. Dengan begini, baik ibu maupun anak akan saling memahami apa yang Anda inginkan, begitu juga sebaliknya. 


Sejak menjadi ibu tunggal, saya mulai mencari banyak ilmu terkait parenting. Beruntung saya bisa membaca ulasan dari Ratih selaku seorang psikolog yang berbagi tentang 5 Konsep parenting di atas. Overall, saya sudah menerapkan 5 konsep parenting tersebut dan hasilnya sungguh memuaskan. 


Saya dan anak-anak saling terbuka dalam hal apa pun. Anak-anak tidak pernah takut mengungkapkan apa yang mereka inginkan. Dan lagi,  yang paling penting anak bisa memahami profesi ibunya. Ini yang saya rasakan ketika anak-anak tidak pernah mengeluh ketika pekerjaan saya sebagai blogger harus menuntut saya untuk ke luar rumah.



Orang Tua Cerai atau Utuh? Mana yang Dikatakan Berhasil dalam Parenting Anak? 


Berbicara soal Orang tua bercerai atau utuh, saya jadi teringat dengan Sinetron lawas, yakni Keluarga Cemara diperankan oleh Novia Kolopaking sebagai Emak dan Adi Kurdi sebagai sosok Abah. Sebuah sinetron yang mengedepankan sisi kesederhanaan, kejujuran dan keikhlasan hidup yang menjadi kunci keluarga bahagia. 


Pernah saya memimpikan keluarga seperti cerita dalam keluarga cemara. Saya melihat kehangatan keluarga sangat kental di sinetron tersebut. 


Mungkin ada yang penasaran, kenapa saya ingin sebuah keluarga yang demikian?


Sejujurnya saya tumbuh di keluarga yang kurang harmonis. Meski demikian saya tidak menyalahkan siapapun, termasuk kedua orang tua maupun keadaan. Saya menganggap inilah takdir saya dan mungkin sebagai titik balik kehidupan di masa akan datang, khususnya gaya parenting saya ke anak-anak nantinya.


Siapa sih yang ingin dilahirkan oleh keluarga yang bermasalah dengan financial? Saya yakin tidak ada. 


Inilah yang menjadi penyebab kata tidak harmonis muncul dalam pikiran saya.


Karena sejak kecil,  saya dan orangtua hidup terpisah. Masa kecil di desa, saya habiskan bersama nenek. Ini juga yang menjadi penyebab konflik dalam keluarga yang tak berkesudahan. 


Di mana tidak ada kedekatan yang melekat antara orang tua dan anak. Jarak jauh membuat saya dan orang tua sulit untuk berkomunikasi dengan enak. Bahkan lebih tepatnya saya takut untuk mengutarakan apa pun keinginan saya. Jadi ya nggak berani jujur. Melihat fenomena keluarga saya seperti itu, sudah bisa disimpulkan jika masa kecil saya tidaklah bahagia. 


Nah, di sini saya ingin menunjukkan sebuah fakta seperti sub judul yang saya tulis, bahwasannya hidup dengan orang tua utuh tidak menjamin adanya minim konflik. Sebaliknya, diasuh oleh orang tua tunggal pun belum berarti anak tidak bahagia. Sampai di sini paham, kan, bedanya?  



Bahkan ada sebuah penelitian yang dilakukan University of Illinois berjudul Effect of Divorce on Children sebagai pendukung pernyataan saya di atas, yakni anak-anak yang memiliki orang tua tunggal yang bahagia memiliki kehidupan lebih baik dibandingkan anak-anak yang tinggal bersama orang tua yang sering bertengkar atau konflik terus-menerus. 


Adapun beberapa penilitian juga mengungkapkan bahwa dalam mengasuh anak tidaklah monolitik. Makna monolitik menurut ilmu Sosiologi adalah sifat kesatuan terorganisasi yang membentuk kekuatan tunggal dan berpengaruh. 


Parenting bukan hanya berbicara terkait materi pola pendidikan dan pengasuhan anak, melainkan dibutuhkan komitmen dari orang tua untuk memiliki keterampilan khusus, pribadi yang baik yang melekat dalam individu dari setiap orang tua yang dijadikan sebagai panutan untuk ditiru anak dan hal ini diperoleh orang tua dengan belajar.


Artinya, di sini pola asuh anak tidak melulu ditentukan oleh sebuah identitas atau jenis kelamin orang dewasa yang terlibat di dalamnya. Tetapi pola asuh anak sangat dipengaruhi oleh kualitas asuhan yang dilakukan secara konsisten selama bertahun-tahun.


Fakta lain juga harus diketahui oleh para orang tua. Susan Golombok dalam penelitiannya pada Journal of Family Psychology tahun 2016 mencari tahu tentang psikologi anak yang dibesarkan oleh ibu tunggal karena pilihan. 


Diperoleh sebuah perbandingan antara 51 keluarga ibu tunggal dengan 52 keluarga dengan pasangan utuh. Ternyata, dari hasil wawancara ditemukan hasil tingkat konflik anak dan ibu tunggal lebih rendah dibanding anak yang dibesarkan oleh orangtua utuh. Sehingga diperoleh sebuah data tentang pengasuhan dua keluarga tersebut tidak diperoleh perbedaan yang signifikan. 


Mungkin Anda bisa melihat ilustrasi berikut. Tentang orang tua idaman serta dikatakan sebagai kategori orang tua yang berhasil dalam mendidik anak. 



Jadi, sesungguhnya status pernikahan bukan tolok ukur dari kebahagiaan anak. Pun tentang orang tua utuh juga tidak menjamin anak hidup bahagia serta menjadi anak yang tidak bermasalah. 


Dalam praktiknya, keberhasilan pembentukan karakter sekaligus kebahagiaan anak dalam keluarga lebih ditentukan kepada konsistensi dalam pengasuhan anak. Inilah yang dibutuhkan oleh semua anak di dunia sekaligus penting ditekankan pada setiap orang tua, baik orang tua tunggal maupun lengkap. 


Anak-anak terbukti bisa menjalani kehidupan lebih baik setelah keluar dari toxic relationship orang tuanya. Anak lebih bahagia  bisa melepaskan diri dari keluarga yang berkonflik


So, Stop labeli anak broken home sebagai anak gagal ataupun tidak bahagia. Karena anak yang memiliki keluarga utuh pun sangat mungkin kekurangan kasih sayang kok. 


Tantangan Ibu Tunggal dalam Mengasuh Anak


Dilansir dari artikel Ibupedia.com tentang tantangan mengasuh anak bagi Single parent atau ibu tunggal paling berat adalah menaklukan emosi. Tanpa sadar emosi selalu naik turun akibat ketakutan menjadi ibu yang tidak sempurna bagi anak. 

Dalam hal ini ibu merasa bersalah karena tidak dapat memberikan anak 'dunia' yang lengkap. Di sisi lain, ibu memiliki batas kemampuan fisik, tenaga dan mental yang harus bisa dia kendalikan. 

Namun apa pun itu, bukan menjadi alasan ibu tunggal tidak bisa bahagia dan mendidik anak dengan parenting yang menyenangkan, kan? 

Yah, bukan rahasia umum lagi jika menjadi single mom memang bukan perkara mudah. Banyak hal yang harus dibenahi dan dipelajari demi menjadi ibu idaman anak-anaknya kelak. 

Nah, selain tantangan emosi, kira-kira apa saja tantangan terberat ibu tunggal dalam menjalani hidup dan mengasuh anak? Kenapa sosok ini juga harus dihargai perjuangannya? 

1. Tidak Mempunyai Pasangan untuk Saling Berbagi Perkembangan Anak


Sebagai ibu tunggal, minus terbesar yang dihadapi adalah tidak adanya sosok pasangan untuk saling berbagi mengenai perkembangan anak. Bahkan, ibu tunggal harus memutuskan sendiri segala sesuatu, mulai dari persoalan tumbuh kembang anak, kesehatan, hingga pendidikan anak.


2. Finansial yang Tak Bersahabat


Tidak dapat dihindari, pada akhirnya finansial menjadi permasalahan yang mau tidak mau dihadapi oleh ibu tunggal. Jika dulu ada suami yang memopang kehidupan finansial, sekarang hanya ada satu pintu pemasukan. 


Salah satu solusi menghadapinya adalah menjadi ibu pekerja. Itu artinya, ibu harus bisa membagi waktu antara bekerja, mengasuh anak, mengurus pekerjaan domestik rumah tangga, serta menjaga kewarasan diri.


3. Merasa Kesepian


Sebagai manusia biasa, single mom juga akan merasa kesepian. Saat anak-anak sedang sekolah atau sudah memiliki dunianya sendiri. Termasuk saat sedang sakit, sedang mempunyai masalah, atau saat momen bahagia sekalipun.


Ada kalanya diwaktu-waktu tertentu merasa “I’m single and I’m not happy”. Ketika ini mendera, cobalah untuk berdamai dengan keadaan, cari kesibukan positif, serta berbaur dengan saudara, teman, dan keluarga.


4. Membagi Waktu antara Pekerjaan, Mengasuh Anak, dan Pekerjaan Rumah Tangga


Meski ibu bukan wonder women, namun saat menjadi ibu tunggal dituntut untuk bisa membagi waktu dengan adil antara pekerjaan, mengasuh anak, dan pekerjaan rumah tangga.


Tidak hanya fisik, tapi juga kejernihan berpikir dituntut agar semua bisa menjadi prioritas tanpa ada yang dinomorduakan.


Solusi terbaik adalah, beri pengertian pada anak bahwa ibu adalah ibu tunggal dan ajak mereka bekerja sama. Ketika anak diberi pengertian dan diajak berkomunikasi dengan baik, maka anak akan mudah memahami situasi. Bila memungkinkan, minta tolong pada keluarga untuk ikut andil dalam mengasuh anak saat ibu harus fokus bekerja.


Ibu memang telah patah hati. Tetapi ibu tidak boleh mematahkan mimpi walau tantangan di depan cukup sulit dihadapi, ya. Bersabarlah, Bu. Dunia indah menantimu. (Malica Ahmad)


Menjadi Single Mom Bahagia dan Berpikir Positif dalam Mengasuh Anak


Menjadi  ibu tunggal adalah takdir yang Tuhan gariskan pada perempuan pilihan.


Di kehidupan nyata, banyak ibu tunggal yang mampu menata hidupnya untuk tetap bahagia dan mampu mengasuh serta membesarkan anak, hingga mengantarkannya ke pintu kesuksesan.


Berikut tips menjadi single mom bahagia dan berpikir positif dalam mengasuh anak.


1. Menjadi Perempuan Berhati Lembut, Penuh Kasih Sayang, Namun Tegas


Memikul dua peran sekaligus, seorang perempuan harus bisa menghadirkan cinta dan kasih sayang seutuhnya pada anak-anak. Menunjukan kelembutan, namun mampu bersikap tegas pada kondisi tertentu. 


Jangan sungkan untuk memuji anak ketika menunjukan prestasi dan jangan ragu menegur ketika anak berbuat salah. Anak akan tumbuh seimbang dengan pujian dan ketegasan dari seorang perempuan berhati malaikat.


2. Buat Jadwal dan Aturan Di Rumah


Tidak hanya ibu, tapi jadwal dan aturan di rumah dibuat bersama-sama anak. Dengan begitu anak belajar bertanggung jawab dengan apa yang telah dibuat dan disepakati. 


Tetapi, jangan membuat peraturan yang terlalu mengekang kebebasan anak dalam menyalurkan bakat dan ekspresi. Berikan juga ruang untuk anak agar memiliki quality time bersama ibu.


3. Me Time untuk Menjaga Kewarasan 


Menjaga kesehatan mental itu wajib hukumnya. Ketika mental sehat, kesehatan fisik pun akan mengikuti.


Ibu tunggal wajib meluangkan waktu untuk dirinya sendiri. Ibu bisa lakukan me time meski hanya saat weekend. Bisa itu sekedar membaca buku di kala weekend, berkumpul bersama teman, shopping, hingga mengikuti kegiatan pengembangan bakat. 


Ibu yang memiliki waktu me time pasti akan merasa waktu kebersamaan dengan anak juga berharga.


4. Libatkan Orang Terdekat dalam Pengasuhan Anak 


Dari hasil penelitian oleh Universitas Columbia dan Universitas Princeton, 17 persen ibu tunggal melaporkan bahwa mereka membesarkan anak tidak sepenuhnya sendirian.  Kebanyakan ibu tunggal dibantu oleh orang tua sendiri, kerabat atau teman dekat. 


Agar proses pengasuhan dengan melibatkan orang terdekat, psikolog klinis Kyle Pruett dari Pusat Studi Anak Universitas Yale menghimbau sekaligus menyarankan agar ibu tidak terlalu kaku menghadapi perbedaan cara mengasuh "orangtua penolong" tersebut. 


Ibu tunggal harus berwawasan luas dalam menyikapi hal ini. Gaya parenting dari orang lain juga tidak selamanya memberi dampak buruk kok. Justru berdasarkan Journal of Community Psychology menyatakan orang tua penolong berperan meningkatkan intelektual anak. Artinya, ibu tunggal yang membuka diri untuk berkolaborasi bersama orang lain mempunyai kapasitas luas dalam mengajarkan anak tentang pengalaman baru dan berpikir kritis. 


5. Miliki Waktu Berkualitas Bersama Anak


Waktu berkualitas bersama anak adalah sangat penting bagi seorang ibu tunggal. Jangan sampai kesibukan bekerja membuat anak tidak diperhatikan. Ketika anak mulai protes, ibu pun berdalih,"Ibu kerja juga buat memenuhi kebutuhan kita."


Big, No, ya, Moms!


Sekalipun Anda mengajak anak hidup sederhana, anak broken home pastilah menerima. Sebab yang mereka butuhkan adalah kasih dan cinta ibu, perhatian ibu yang tak pernah terlupa. 


Nah, untuk waktu berkualitas bersama anak ini bisa dengan saling bercerita di jam tertentu, diskusi sesuatu, baca buku, nonton bersama, atau traveling. 


Kalau saya sih suka mengajak anak traveling meski harus merogoh tabungan. Tetapi di sini saya memiliki alasan sekaligus tujuan, kenapa harus mengajak traveling? 


Karena dengan traveling, saya bisa mengenalkan anak tentang empati. Saya bisa mengajarkan anak untuk mensyukuri ciptaan Tuhan. 


Traveling juga bisa sebagai sarana mengajarkan anak bersosialisasi, belajar tanggung jawab dengan diri sendiri, mandiri, serta belajar kerja keras. 


Berhenti Menyalahkan dan Berpikir Menjadi Ibu yang Tidak Sempurna


Akhir kata dari artikel parenting kali ini, saya cuma mau bilang, bahwa tidak hanya menjadi ibu tunggal yang akan selalu menghadapi tantangan dalam hidup. 

Tantangan dan cobaan hadir pada siapa saja. Karena sejatinya tantangan ibarat batu terjal yang menghadang akan membuat seseorang menjadi kuat, termasuk menjadi ibu tunggal yang harus mengasuh dan membesarkan anak. 

Ibu tunggal juga diharapkan berhenti menyalahkan diri sendiri karena telah mengambil keputusan bercerai. Apalagi merasa menjadi ibu yang tidak sempurna. 

Sebab faktanya, tidak ada satupun ibu yang ingin memberikan luka pada anak dengan memilih berpisah dengan pasangannya. Semua ibu ingin anak bahagia. Tetapi jika takdir meminta anak memiliki kehidupan berbeda dengan teman lainnya, maka terima dan ikhlas saja. 

Tetap berpikir positif karena seiring berjalannya waktu akan ada kedamaian dan kemudahan yang Tuhan berikan. Semangat para ibu tunggal, you are not alone!







20 komentar on "Benarkah Ibu Tunggal adalah Orang tua yang Gagal? "
  1. Begitulah masyarakat di sekitar kita. Tapi bukan tanpa alasan sih mereka membuat stigma tentang ibu tunggal yang tidak baik. Karena pada kenyataannya memang tidak sedikit kejadian rumah tangga yang rusak karena sang suami lebih memilih menjandakan istrinya untuk membantu janda yang lain.

    Makanya itu bisa menjadi tantangan bagi single parent khususnya ibu tunggal. Membuktikan bahwa putra-putri bisa berhasil dan sukses di kemudian hari memang butuh beragam persiapan. Semangat....

    BalasHapus
  2. sterotype orang Indonesia selalu mengidentikkan single parent sebagai ortu gagal, padahal di luar negeri hal kayak gini wajar. keep strong!

    BalasHapus
  3. Dulu ada stigma anak broken home bila orangtua bercerai. Kasihan sebetulnya, anak yang gak punya salah jadi korbannya. Padahal dengan melihat orangtuanya bercerai pun dia udah sedih.

    Memang pelan-pelan stigma ini harus dihilangkan. Seseorang yang gagal dalam berumahtangga bukan berarti menjadi orangtua yang gagal. Berlaku bagi ayah ataupun ibu. Karena memang kembali ke cara mendidik anak

    BalasHapus
  4. aku justru sakut nih liat ibu tunggal berjuang untuk anak-anaknya. termasuk kamu mbak Malica. Karena nggak ada perempuan yang lemah.

    semangatterus untuk ibu-ibu tunggal di manapun berada.

    BalasHapus
  5. Kakak sepupuku orang tua tunggal. Tapi dia berhasil membesarkan kedua anaknya hingga lulus kuliah dan berprestasi. Memang berbeda2 tipe ibu mendidik dan memberikan pola asuhnya. Learning by doing dan memperoleh wawasan parenting itu penting.

    BalasHapus
  6. luar biasa kak, pengalaman dan pengetahuan kalau digabungkan sungguh jadi ilmu yang luar biasa. aku percaya setiap keluarga itu berbeda dan spesial sih. jadi ibu dan ayah sekaligus tetep bisa dong

    BalasHapus
  7. Karena judulnya pertanyaan, saya akan jawab. TIDAK. Itu tidak ada hubungan dengan soal anak. Perceraian atau alasan lain (misal suami meninggal) tidak ada sangkut paut dengan soal anak vs ibu. Ini antara pria dan wanita. Tidak boleh dibelokkan ke drama melankolis soal anak. Ini soal perasaan. titik. Itu menurut saya.

    BalasHapus
  8. Ibu tunggal bukanlah ibu yang gagal. Justru dia adalah orang hebat. Tetap semangat kak!

    BalasHapus
  9. Waktu SMP daku pernah sebangku sama teman yang broken home. Bisa dikatakan saat itu dia malah anak yang cerdas, rangking terus. Jadi menurut daku memang tergantung pola asuh orangtuanya

    BalasHapus
  10. Menjadi ibu tunggal tidaklah mudah dan barangkali apakah ada yang membayangkan bisa terjadi? Tetapi jika dilakoni dengan bahagia apalagi dukungan anak2 dan keluarga, tentu akan berdampak positif bagi diri si ibu, anak2nya dan lingkungan. Ga sedikit ibu tunggal mampu meakukan banyak hal sampai cita2 anak2nya tercapai lho. Ikhtiar aja nanti Allah yang memaminkannya. Semangat terus mbak Malica :D Mantap deh, good luck yach ini lomba kan?

    BalasHapus
  11. Tak ada seorangpun ingin bercerai
    Baik cerai hidup atau cerai mati
    Ibu saya harus menghidupi 6 anak ketika ayah meninggal dunia
    Toh pandangan masyarakat tetap negative ke ibunda
    Untung kemudian ibunda sebodo amat seperti Mbak Malica

    BalasHapus
  12. Saya paling tidak suka kalo ada yang membuat stigma "toksik parent"..hehe. Sebelum mengecap toksik parent coba ingat2 kebaikan apa yang sudah orang tua berikan kepada kita. Toksik parent menurut saya tidak tepat jika disandingkan untuk ayah-ibu kita. Mungkin cara mereka kurang tepat menurut kita dalam mendidik anak, tapi sebenernya mungkin lho mereka emang gak tahu ilmunya, jadi kita harus memaklumi. Btw, ibu tunggal itu memang pekerjaan yang tak mudah, saya menyadari itu, mengurus anak dll pastinya butuh mental dan psikologi yang kuat.

    BalasHapus
  13. Tetap menjadi pendidik bagi anak agar bahagia dunia dan akhirat. Semangat mendidik anak, ibu adalah madrasah bagi anak.

    BalasHapus
  14. Ada beberapa ibu tunggal yang aku kenal, mereka adalah sosok-sosok kuat yang berusaha untuk tidak gagal. Sekiranya ada yang belum berhasil, menurutku bukanlah disebut gagal, tapi ada hal yang belum selesai diusahakan. KArenanya, aku selalu melihat para ibu tunggal dari kaca mata yang selalu positif.

    Ibuku juga ibu tunggal, dan aku tidak merasa ibuku pernah gagal dalam membesaranku.

    Tetap positif dengan segala sikap positimu, mbak.

    BalasHapus
  15. Aku sih setuju,
    tak semua anak-anak yang memiliki orang tua tunggal adalah anak yang dilabeli "anak broken home biang kerusuhan"

    Justru kayak Reza Arap - dia sukses karena ibunya powerful

    Anak yang besar di orang tua yang sering bertengkar atau konflik terus-menerus, berpotensi seperti "beringas" karena gemes ga bisa ngapa ngapain saat ada di kancah peperangan yang dia ga tahu masalaahnya :(

    BalasHapus
  16. Saya tahu rasanya engga nyaman dengan omongan orang, apalagi stigma negatif ini sudah melekat lama. Namun, benar sekali daripada menjalani hubungan yang tidak nyaman alias toxic, lebih baik dilepaskan saja. Kegagalan bukan akhir dari segalanya. Saya ikut mendoakan semoga Allah mempermudah dan meluaskan jalan rezeki buat Mba Malica dan anak-anak. Berbahgialah Mba, Mba dan anak-anak berhak bahagia.

    BalasHapus
  17. Bibi saya adalah ibu tunggal, membesarkan 7 anak seorang diri. 2 anak kandung dan 5 anak tiri. Semua jadi anak sukses. Alhamdulillah.

    Di antara contoh di atas, saya paling salut sama ibunya Jeff Bezos. Betul-betul perjuangannya. Saya pernah baca di laman berita asing.

    Jadi ibu itu memang gak ada sekolah formalnya, tapi banyak ilmu parenting bisa didapatkan dari berbagai sumber. Salah satunya ibupedia ya mba. Keren ini. Walau pun belum sering berkunjung, tapi saya pernah baca artikel-artikelnya di sini yg menarik.

    BalasHapus
  18. Ga ada orangtua tunggal yang gagal, adanya belum berhasil karena di awal itu sangat sulit. Bukan hanya perasaan ibu tunggal yang memang masih peka, perasaan anak juga masih jadi PR bersama. Dan ya, kadang keluarga luar/tetangga juga keponya ga ketulungan.
    Terus semangat Mbak. gali terus potensi diri dan anak agar bisa menjalani hidup dengan rasa bahagia dan bangga: "Hey! Aku sudah memilih jalan yang benar!"

    BalasHapus
  19. cara pandang di negara kita memang selalu begitu ya jika single parent itu adalah orangtua yang gagal padahal tidak seperti itu

    BalasHapus
  20. Setuju, peran ibu tunggal dalam mendidik anak sama seperti pada ibu pada umumnya. Yang membedakan hanyalah ibu tunggul tidak lagi memiliki pasangan sehingga tantangannya lebih berat dalam mengasuh anak. Untuk itu saya salut sama ibu tunggal yang mau berjuang keras demi melihat anak-anaknya sukses. Semangat juga buat Mbak Malica yang bisa bertahan dan berjuang mengasuh anak sebagai ibu tunggal. Nah, kalau menurut saya gagal atau tidaknya tergantung bagaimana cara ibu mendidik anaknya, entah itu ibu tunggal atau bukan

    BalasHapus

EMOTICON
Klik the button below to show emoticons and the its code
Hide Emoticon
Show Emoticon
:D
 
:)
 
:h
 
:a
 
:e
 
:f
 
:p
 
:v
 
:i
 
:j
 
:k
 
:(
 
:c
 
:n
 
:z
 
:g
 
:q
 
:r
 
:s
:t
 
:o
 
:x
 
:w
 
:m
 
:y
 
:b
 
:1
 
:2
 
:3
 
:4
 
:5
:6
 
:7
 
:8
 
:9