Apakah Postpartum Depression Karena Kurangnya Iman?

Senin, 16 September 2019



Wahai Ibu,  
Aku anakmu
Aku peduli padamu
Tatapan bengismu padaku tak pernah kuartikan negatif
Kamu hanya butuh pertolongan kala itu

Kamu sakit, aku tahu itu
Jiwamu dilanda depresi
Aku pun tahu itu
Artinya, apakah kamu jahat padaku?

Ketika ibu tak ingin menyentuh lembut tubuhku? 
Hanya suara bantingan yang terdengar
Suara keras melengking berkali-kali
Apakah aku marah? 

Tidak, Ibu
Aku ingin memelukmu ketika waras nanti
Kamu hanya butuh istirahat
Tubuh dan jiwamu
Sekali lagi, kamu hanya butuh pertolongan

Siapa yang mau menolongmu?
Aku tak tahu, Ibu
Mungkin sedikit pelukan hangat lebih menenangkan
Daripada tangisanku yang membuatmu semakin pilu, bukan? 

Tulisan ini tercipta ketika di media sosial sedang ramai membahas bahwa ibu yang telah mengalami post partum depression adalah perempuan yang kurang iman. Pernyataan tersebut saya dapati di salah satu grup komunitas menulis di facebook. Bukan hanya viral tetapi juga menuai banyak komentar positif dan negatif.

Ada penulis yang menanggapi dengan meluruskan apa kurang iman yang dimaksud. Adapula yang menentang bahwa PPD bisa menyerang perempuan mana saja, bukan perkara iman. Tak sedikit juga perempuan-perempuan lain menunjukkan opininya dengan geram atas ketidakterimaan penyebutan kurang iman tersebut. Ah, warna-warni dunia maya ya. Lantas, saya ada dipihak mana? Setuju atau tidak jika gejala post partum depression itu menyerang ibu yang kurang iman?

Hmmm... sebelum saya menjawabnya. Coba simak sekelumit kisah seorang Ibu yang pernah mengalami postpartum depression berikut ini. Kisah ini nyata tetapi sedikit dipermanis dengan imajinasi tulisan fiksi. Monggo diresapi dan diambil hikmahnya. Saya hanya ingin berbagi lewat tulisan bahwa apa yang kita lalui dalam hidup ini sejatinya ada pesan untuk disampaikan pada khalayak umum. 

JIWAKU TERKURUNG DALAM DERITA BERNAMA POST PARTUM DEPRESSION


"Bayi itu malapetaka. Dia yang membuat hidupmu carut-marut. Bahkan sejak dia ada dalam kandungan, dia telah membuat hidupmu berantakan."

Entah itu bisikan dari mana. Bisikan-bisikan itu muncul ketika aku menangis dan mengeluh soal ujian hidup yang teramat berat dijalani."Dialah penyebab semuanya. Suamimu pergi karena dia bukan?"

Kembali bisikan itu terdengar. Mulanya lirih, tetapi lama-lama cukup nyaring di telinga. Ingin aku berteriak malam itu. Tapi ada sedikit ketakutan yang mencegahku melakukannya. Aku pun hanya bisa menggigit keras-keras bantal yang ada di sampingku. Berteriak dengan rasa yang tertahan. Mengusap air mata yang terus mengalir, seraya memandangi wajah bayi mungil yang sedang tidur tenang di hadapanku, dengan tatapan penuh benci. Hampir saja tanganku ingin mencekik sosok yang sedang tidur terlelap. Tetapi sisi lainku berbicara.

"Jangan lakukan. Dia anakmu. Dia buah hati yang telah kamu lahirkan seminggu lalu. Apakah kau ingin membuat luka untuknya di masa depan?"

Tanganku sontak berhenti tepat di atas lehernya. Aku kembali menangis sejadi-jadinya sambil membenturkan kepala di tembok bercat putih yang sedikit usang. melemparkan botol susu yang ada di atas nakas dengan sekeras-kerasnya. Tanpa sadar anak sulungku terbangun. Dia memelukku dari belakang. Meredam sedikit emosi yang meluap dan sulit untuk diungkap pada orang yang tepat. Kenapa aku bilang demikian? 

Tahukah, hidupku di kelilingi banyak kerabat. Bahkan bapak dan ibu selalu berada di dekatku. Tapi apakah mereka tahu jika diriku tidak baik-baik saja? apakah mereka tahu jika anaknya ini sedang sakit jiwanya? Tidak,tidak. Mereka tidak tahu jika aku mengalami gangguan depresi seperti ini. Aku tidak pernah bercerita apa mauku sebenarnya. 

Saat peristiwa lima tahun yang lalu, ketika rumah tanggaku terombang ambing oleh badai yang bernama masalah, mereka sibuk mengingatkan, menasihati, dan terkadang menyalahkan. 

"Lelaki itu pilihanmu sendiri. Jika saat ini rumah tanggamu ada masalah seperti ini, tentunya kamu harus menyelesaikannya sendiri, bukan?"

Begitu enteng mereka mengatakan itu padaku tanpa melihat betapa sakit hati dan jiwaku. Batinku tertekan, hanya saja mereka tidak peduli.

Aku tercekik oleh kalimat-kalimat mereka yang terus-menerus memojokkan bahwa akulah yang salah. Padahal mereka tahu benar, saat itu aku baru saja melahirkan anak kedua. Dan tujuh hari setelahnya, lelaki yang pernah aku sebut suami pergi begitu saja. Tunggang-langgang tanpa ingat apa kewajiban yang harus dia tunaikan kala itu. Ah, aku tak butuh itu semua. Coba sedikit saja dengarkan dan pahami diriku. 

Di sisi lain, setiap detik, menit, bahkan jam, lelaki itu mengirim pesan tak mengenakan. Bukannya menanyakan kabar bagaimana istrinya, sehatkah? Atau bagaimana anaknya, apakah baik-baik saja?  justru dia mencerca dengan kalimat-kalimat yang membuat tubuhku membeku dan ingin mati saja seketika itu. "Kita bercerai."

Dia teramat brengsek, bukan? Sangat. Tetapi tunggu dulu, meski dia terlihat brengsek dengan kalimatnya yang tidak bijak, aku tak kuasa melupakannya apalagi berkata kasar padanya. Bagaimana bisa?

Ada sesuatu yang membuat hatiku terenyuh ketika anak pertama kami lahir. Dia tidak memberikan kesempatan pada dirinya sedetik pun jauh dari kami. Dia memilih resign dari tempatnya bekerja demi anak dan istrinya. Dia mau membantu menyelesaikan pekerjaan rumah bersama istrinya. Setiap hari dia menghujani kasih sayang untukku dan anaknya. Saat itu, kepercayaanku menggunung bahwa dia adalah lelaki terbaik yang tercipta untukku.  

Namun berbeda ketika kabar baik tentang hadirnya anak kedua kami. Masalah demi masalah datang. Dari keluarga sendiri dan luar yang sungguh menguras pikiran dan tenaga. Aku sempat stres dan mungkin juga dengannya. 

Hari-hari kami jauh dari kata senyum. Komunikasi suami istri memburuk. Begitupun komunikasi antar anak, menantu, mertua, dan orang tua. Sementara aku harus bekerja dengan mengajak anak pertamaku demi menutupi masalah ekonomi kami.

Dia pun menyibukkan diri dengan beralasan ada lembur kerjaan di kantor. Hampa. Begitulah yang aku rasakan. Aku hanya bisa memendam selama 9 bulan itu penuh dengan tanya, sakit hati, dan entah perasaan carut-marut yang tiada henti. Sedikit pelukan darinya hampir tidak kurasakan lagi. Menyedihkan, bukan? 

Hingga bom itu meledak pada waktunya. Dan entah kenapa saat anak kedua kami lahir, yang menjadikan alasan kenapa aku menyalahkan atas semua yang terjadi dalam hidupku dan hidupnya, bayi itulah penyebabnya. Pengkhianatan fatal dari seseorang yang pernah menjadi belahan jiwaku.  

Parahnya, aku nggak pernah tahu apa yang menimpaku itu adalah post partum depression. Sebuah kondisi depresi yang dialami ibu melahirkan karena beberapa penyebab, seperti kondisi fisik yang terlalu lelah, rapuhnya mental atau tekanan batin karena kurangnya dukungan sekitar.

Di mana saat itu aku memiliki keanehan dalam diri yang tidak pernah aku sadari sebelumnya. Aku berubah menjadi sosok berkepribadian ganda. Sewaktu-waktu aku akan tersenyum melihat bayiku yang lucu. Seketika itu juga aku bisa mengeluarkan air mata tanpa henti. Ada rasa cemas berlebih, emosi menggebu, dan halusinasi negatif tak jelas menghampiri. Payah! Selera humor yang menjadi ciri khasku tiba-tiba lenyap begitu saja. 

Aku pun memilih sendiri daripada membaur dengan banyak orang di luar sana. Bahkan bercerita pada Bapak maupun Ibu tentang kondisiku rasanya enggan sekali. Lalu siapa yang akan menyelamatkanku dari post partum depression yang mengukung jiwaku ini? 


KAITAN KEIMANAN DAN POST PARTUM DEPRESSION




Dalam ilmu kedokteran, tingkat depresi ibu pasca melahirkan terbagi menjadi beberapa tahap, antara lain: 

Postpartum Baby Blues


Adalah depresi ringan akibat perubahan hormon pada tubuh ibu beberapa jam setelah melahirkan, sampai 3 hari melahirkan, atau bisa dikatakan waktunya sangat singkat.
Gejala ini akan hilang dengan sendirinya jika mendapatkan penanganan psikologi yang tepat. 

Berdasarkan penelitian, 80% perempuan akan mengalami gejala baby blues syndrome ini, dan  biasanya ditandai dengan perubahan mood yang sangat drastis. Terkadang sedih berlebihan, bisa juga menangis tidak jelas, gangguan tidur dan rasa tidak nyaman lainnya.

Kondisi seperti ini akibat dari sang ibu merasa kelelahan karena banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Atau bisa juga merasa cemas serta khawatir berlebihan belum mampu menjadi ibu yang baik. Dan ternyata, baby blues juga bisa saja terjadi akibat masalah-masalah saat hamil yang menyebabkan ibu mengalami tekanan batin. Hingga dampaknya baru terlihat pasca melahirkan. 

Post Partum Major Depression


Pada dasarnya hampir sama dengan baby blues syndrome. Yang membedakan hanyalah waktu terjadinya depresi, yaitu post partum major depression akan terjadi selama 6 bulan setelah persalinan.

Tanda-tandanya pun bisa dikatakan cukup berat di mana suasana hati ibu akan lebih buruk dibanding baby blues syndrome. Ibu akan menangis disertai mengucapkan kata-kata kurang jelas, kelainan tidur, kesulitan berkomunikasi dengan bayi, menyakiti diri sendiri, dan parahnya akan mencoba bunuh diri. Kondisi ini akan terjadi pada 10% perempuan setelah melahirkan.

Post Partum Psychosis Depression 


Kondisi depresi terakhir ini lebih parah dibanding post partum baby blues dan post partum major depression. Sebab, ibu yang berada dalam fase depresi ini akan mengalami halusinasi, seperti bisikan tentang mencelakakan bayi atau membunuhnya. Tidak hanya itu, perubahan suasana hati akan tidak adanya ketertarikan pada anak, paranoia, mencoba menyakiti diri sendiri atau bayi serta kebingungan dan disorientasi berlebihan. 

Ketiga jenis depresi di atas tidaklah sama-sama enak bagi seorang ibu. Ketiganya sangat menyiksa jiwa perempuan pasca melahirkan. Untuk itulah mereka membutuhkan penanganan lebih cepat. Namun sebelumnya, kita harus tahu dulu apa saja hal-hal yang mendasari seorang ibu pasca melahirkan. Bukankah melahirkan dan memiliki anak adalah impian setiap perempuan?

  • Fisik ibu lemah pasca melahirkan serta ada tuntutan merawat bayi tanpa adanya bantuan 
  • Perubahan hormon yang membuat perempuan lebih sensitive
  • Masalah keluarga, seperti hubungan suami istri tidak harmonis, finansial, tidak ada dukungan dari keluarga dekat saat melahirkan maupun merawat bayi.
  • Memiliki riwayat depresi sebelumnya terutama  saat masa kehamilan. 
  • Gangguan kesehatan pasca melahirkan, misalnya rasa sakit setelah operasi Caesar atau rasa nyeri bekas jahitan yang mengganggu proses buang air kecil.
  • Kesulitan dalam memberikan ASI
  • Ada kondisi yang membuat ibu menyimpan kenangan buruk dalam memori otaknya, misal orang tua meninggal atau perceraian. 
  • Bayi yang dilahirkan mengalami gangguan kesehatan
  • Mengalami kesulitan dalam proses persalinan

Cara menanganinya : 

  1. Memberikan perhatian serta dukungan orang-orang terdekat sangat penting untuk menyembuhkan kesehatan mental sang ibu
  2. Olahraga atau yoga untuk membantu meringankan depresi 
  3. Konsultasi pada psikiater akan masalah yang dialami oleh ibu pasca melahirkan 
  4. Konsumsi obat anti depresan atas rekomendasi dari dokter

Dan yang paling penting adalah, berhenti menghujat, nyinyir ataupun menganggap remeh kondisi depresi ini. Ketika mengenal tanda-tanda aneh pada ibu, segera beri waktu untuk diri sendiri alias me time. Ajaklah Ibu berbincang dan tunjukkan kesenangan yang mampu menghibur. Sehingga ibu merasa diberikan perhatian dan dukungan.

Oh ya, untuk gejala depresi ini sebenarnya bisa dicegah jauh-jauh hari. Caranya, ketika ibu dalam kondisi hamil buatlah dia terus merasa bahagia. Sebisa mungkin saat hamil ibu terhindar dari stres, bergaya hidup sehat, atau bisa juga sering melakukan konsultasi dengan dokter jika merasa ada keanehan masalah psikis.

Dan meminta ibu hamil bahagia itu tidaklah sulit. Dalam hal ini suami memiliki peran sangat penting dengan melakukan hal-hal remeh, yang sejatinya justru tidak banyak dilakukan oleh seorang suami. Misalnya, sering memberikan pelukan, berkomunikasi lebih intens dengan pasangan, perhatian, dan dukungan. Yes, itu saja. Remeh sekali bukan?

Seorang Ibu setelah melahirkan tidak banyak yang dibutuhkan. Hanya support system sebagai bentuk kepedulian atas tanggungjawab baru yang akan dilakoninya. Tanggungjawab yang bisa dikatakan cukup berat tentang merawat seorang anak, yang membutuhkan perjuangan.

Lantas, apa hubungan depresi dengan keimanan seorang perempuan? Apakah benar seorang perempuan depresi kurang iman?    


Baiklah, sebelum berbicara tentang keimanan, saya ingin bilang jika pendapat ini bukan berarti saya sangat memahami agama dari yang lain. Ilmu agama saya masih dangkal. Akan tetapi izinkan saya berpendapat berdasarkan ilmu yang pernah saya pelajari. 

Para imam dan ulama mendefinisikan iman sebagaimana diucapkan oleh Imam Ali bin Abi Talib adalah ucapan yang diucapkan dengan lidah (Lisan), membenarkan apa yang diucapkan itu dengan hati, serta mengamalkannya dengan rukun-rukun  (Anggota-anggota).

Artinya perkara iman ini merupakan satu kesatuan yang mulai dari lisan, hati, dan tindakan harus sama dalam satu keyakinan. Orang beriman termasuk orang yang jujur atau orang yang memiliki prinsip dalam hidup.

Sebagaimana kita tahu bahwa sejak kecil kita sudah diajarkan bahwa Allah itu ghoib, tidak terlihat wujudnya. Tapi orang tua kita seringkali mencontohkan wujud Allah atas kuasa-Nya menciptakan langit, bumi, dan apa pun yang ada di dunia, adalah ciptaan-Nya.

Kemudian, kita juga dikenalkan dengan yang namanya Malaikat. Biasanya orang tua akan bilang bahwa jika kita berbuat baik, maka perbuatan kita akan dicatat oleh Malaikat Raqib. Nah, jika kita suka menjahili teman atau berbohong, orang tua kita akan menyebut nama Malaikat 'Atid sebagai Malaikat pencatat perbuatan tercela. Tentu kita dalam hati membatin, siapa malaikat itu? Malaikat itu ghoib.
Tetapi kita harus percaya bahwa dia ada di sekeliling kita.

Pun dengan syaitan, orang tua kita pasti pernah mengenalkan nama syaitan saat kecil, bukan?
"Nak, syaitan itu tidak dapat dipandang oleh mata kita. Tetapi dia suka sekali mengajak manusia berbuat jelek. Syaitan suka menggoda untuk mengajak kita malas untuk beribadah."

Bagaimana wujud syaitan? Lagi-lagi orang tua kita berbicara sesuatu yang ghaib. Tapi kita harus meyakini bahwa makhluk Allah yang seringkali mengajak kejelekan itu bernama syaitan.

Tentang dahsyatnya syaitan ini juga telah diceritakan pada kisah Nabi Adam dan Ibu siti hawa. Syaitan membujuk dengan segala tipu daya agar nabi Adam memakan buah khuldi, buah yang dilarang oleh Allah. Namun akibat bisikan syaitan yang teramat menggiurkan,  Nabi Adam pun melanggar perintah Allah tersebut.

Dari sekelumit pengandaian di atas, kita sudah tahu bahwa iman adalah berbicara tentang keyakinan itu hanya dalam hati.

Kemudian, mari dihubungkan dengan post partum depression. Sebuah gejala depresi yang terjadi pada ibu pasca melahirkan. Gejala ini bisa menyerang akibat adanya kekhawatiran  ibu tidak mampu merawat anaknya, masalah finansial yang mencekik, atau bahkan rasa sakit selepas melahirkan.

Hingga semua itu menyebabkan ibu takut, khawatir, dan cemas akan ujian hidup yang cukup berat. Akhirnya, baik kondisi fisik, psikologi, maupun mental ibu menjadi lemah dan rapuh. Sehingga tidak menutup kemungkinan bisikan-bisikan syaitan yang menyebabkan keimanan seseorang melemah pun terjadi dan mudah sekali dipengaruhi.

Padahal soal ujian hidup ini sudah dijelaskan di Al-quran dalam surat Al-Baqarah ayat 286:

"Allah tidak membebani seseorang itu melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (Q.S Al-Baqarah: 286)

Tapi entah, saya sendiri ketika mengalami post partum depression lima tahun lalu, pikiran saya selalu bingung, cemas, dan gampang banget hal-hal negatif masuk serta mempengaruhi kerja pikiran itu sendiri. Alhasil, hampir tiap hari mengeluh,mengeluh, dan mengeluh. Saya marah kepada Allah kenapa memberi ujian hidup yang berat. Saya merasa lelah hidup. Keinginan ingin mati pun pernah ada. Astagfirullah...

Ah, mengingat semua itu dada saya semakin sesak saja. Dan saya mengiyakan jika saat itu saya butuh dukungan spiritual. Pasalnya, meski paham agama jika seseorang sudah diuji, dia akan tetap membutuhkan orang lain untuk diingatkan kembali agar tidak menyimpang ke jalan yang tidak benar.

Dari sini saya mendapat banyak nasihat dari seorang teman, bahwa kunci dari semua masalah saya adalah harus lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah. Saya harus memasrahkan semua yang terjadi dalam hidup seikhlas-ikhlasnya hanyalah pada Allah. Saya harus sembuh demi anak-anak. Alhamdulilah, post partum depression yang menakutkan itu perlahan menghilang.

Saya yang jauh dari kata sempurna sebagai seorang ibu, anak, sekaligus diri sendiri. Tapi saya jadi tahu kenapa Allah memberikan ujian kala itu. Allah ingin saya menjadi insan lebih baik. Ada atau tidak ada hubungan post partum depression dengan keimanan, bagi saya kembali ke pribadi masing-masing. Siapa yang mampu mengukur kadar keimanan seseorang? Bukankah itu urusan pribadi makhluk dan Tuhannya? Jika syaitan mampu membujuk Nabi Adam dengan segala tipuan rayuannya, bagaimana dengan kita yang masih jauh dari sempurna agamanya?



Salam dari survivor PPD 5 tahun yang lalu.     
44 komentar on "Apakah Postpartum Depression Karena Kurangnya Iman? "
  1. Sebenarnya PPD ini bisa jadi bukan karena kurang iman tapi tajamnya opini dari sekitar kita.

    BalasHapus
  2. Membaca artikel ini seraya berempati dengan mereka yang mengalaminya. Dalam kondisi yang bermasalah, pasti segalanya akan menjadi berat dihadapi. Mungkin dengan menyelesaikan masalah, bersikap legowo dan accepted, mereka bisa didampingi untuk menjadi kuat lagi.

    BalasHapus
  3. intinya saling mendukung antar sesama anggota keluarga, saling membahagiakan dan lebih bersyukur serta bersabar atas segala ketentuanNya...memang tak semudah berucap..tetapi wajib untuk melakukannya

    BalasHapus
  4. Awalnya kita masih selow karena belum bisa menyusui dengan lancar. Kemudian, datanglah setan-setan berwujud komentar. Akhirnya bikin gerah, sedih, pusing, gak pede ujung-ujungnya menyalahkan diri semdiri dan depresi. Jadi nggak selalu krn kurang iman kok. Orang yang ibadahnya rajin pun bisa terserang post partum depresion kalau kurang perhatian, bantuan dari sekitar. Apalagi kalau dikomenin trus. Duh, cape deh.

    BalasHapus
  5. salah satu tantangan tersendiri ya bagi para perempuan. Terutama setelah melahirkan memang secara fisik dan mental sedang 'lelah'. Tentang iman, bukan berarti yang mengalami ppd berarti kurang iman tapi iman bisa menjadi salah satu yang membantu memperbaiki semuanya.

    BalasHapus
  6. Masya Allah mbak. Aku tadinya gak tahu apa apa mengenai baby blues maupun PPD Ini. Tapi setelah banyak membaca dan mendengar ceritanya jadi tahu dan mengerti. Memang perlu banyak dukungan. Dan sebenarnya setiap Ada yg habis lahiran ,yg menengok Jangan hanya fokus ke bayinya aja tapi perhatikan lah juga ibunya terutama

    BalasHapus
  7. Waktu sesudah melahirkan anak pertama sempat agak stress, Alhamdulillah dukungan suami membuat kondisi cepat stabil

    BalasHapus
  8. Sempat depresi karena bayu pertama meninggal sampai ke psikolog dan terapi. Lalu kecemasan berlebihan pasca lahiran bayi kedua karena takut ia akan meninggal juga...
    Aah, sepertinya yang kurang iman itu yayang nyinyirin si ibu kurang iman
    Karena kalau dia pernah di posisi si ibu pasti enggak akan komen begitu

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah sama mba... bayi pertama saya juga meninggal...
      Alhamdulillah saya rasa saya gak sampai depresi sih..
      Tapi sedihnya ya memang gak ketulungan...
      Alhamdulillah ya mba Dian, kita jadi punya tabungan di surga...

      untuk mba Malica, terima kasih sudah menulis ini.
      Saya memang tidak post pantrum, tapi masih sering kesel kelepasan sama anak. Baca ini ngerecharge jiwa saya sebgai emak2, apalagi puisi di awal. menohok sekali

      sukses terus ya

      Hapus
    2. Iya, bayi saya cacat mbak..jadi saya sudah plus plus sedihnya, apalagi saya habis itu diungsikan ke rumah Ibu di Kediri dan di situ ada kakak saya pulang buat lahiran juga cuma beda seminggu. Jadi saya denger tangisan bayi kakak. Suami saya balik ke Sumut lagi.
      Jadi saya sempat ke psikolog dan dibilang gejala depresi.
      Akhirnya terapinya termasuk Kakak saya pulang ga di rumah ibu lagi biar saya ga denger suara bayi
      Hihihi..panjang ceritanya.
      Maka , suka baca tulisan Mbak Malica

      Hapus
  9. Akupun kena baby blues atau apalah namanya itu mba, waktu anak pertama dulu. Kadang nangis sendiri, kadang ada bisikan aneh-aneh, bikin pikiran kacau. Untung gak lama, sekitar sebulanan gitu dan ujungnya aku tersadar saat anakku divonis kena hernia. Ahhh... kalo inget itu pasti jd sedih deh.

    BalasHapus
  10. Bener banget itu. Ahh, aku senang sekali semakin banyak tulisan yg mengangkat tentang ini. Bukan hal mudah menjadi ibu baru. Apalagi dengan segala judge dan kita hidup dengan mayoritas kaum patriarki. Di mana sah sah saja lelaki gak berperan penuh, semua dibebankan ke perempuan. Padahal kan sejatinya anak bersama. Tanggung jawab juga bersama. Jangan melulu salahkan ibunya. Tapi coba lihat secara obyektif ketika anak punya salah. Apalagi ibu ternyata punya latar belakang pernah PPD. Seharusnya lingkungan membantu support yg baik.

    BalasHapus
  11. Subhanallah... Saya pernah punya teman yg kena baby blues. Orang sekita menganggapnya baik² saja tapi dia cerita padaku sedang tidak baik. Huhu... Aku sedih lihatnya tapi Alhamdulillah segera teratasi.memang ya peran keluarga sangat penting untuk ibu yg baru melahirkan

    BalasHapus
  12. Astagfirullah.. Kok bisa ya ada yang ngomong kalo PPD karena kurang iman. Padahal kan bisa karena berbagai faktor. Harusnya mendukung bkn menghujat

    BalasHapus
  13. Bahasan ini emang kompleks banget ya, Kak. Mungkin memang kurang iman, namanya manusia kan imannya naik turun, tapi itu bukan berarti jadi alasan karena kaitannya ama psikologi.

    BalasHapus
  14. Aku sempat baca berita tentang PPD ini. Serem dan miris bacanya mbak. Pas baca kisahmu ini, sy kembali diingatkan untuk lebih peduli pada kondiai istri.Anakku sudah 6 bulan dan kami bahu membahu untuk merawatnya.

    BalasHapus
  15. Sedih deh kalo ada yang mengaitkan PPD dengan keimanan. Kayak yang menghujat sudah yang paling benar imannya. Semoga saja mereka tak mendapatkan masalah kehidupan yang membuat mereka depresi.
    Mereka tidak tahu rasanya menjadi seorang ibu dengan adanya masalah² yang tak mereka pernah alami 😷

    BalasHapus
  16. Semoga ALLAH menjaga dan melindungi semua ibu2 yg telah berjihad dgn hamil, melahirkan dan mengasuh putra/i yaaa
    --bukanbocahbiasa(dot)com--

    BalasHapus
  17. Tulisan ini terasa banget ditulis dari hati. Ternyata Mbak Malica pernah mengalami sendiri, ya.
    Saya belum sampai pada taraf PPD, sih. Saat melahirkan anak kedua dulu, "hanya" merasakan Baby Blues saja. Itu pun rasanya sangat tidak nyaman. Iyes, komentar2 pedas karena saya melahirkan sesar sih yg paling bikin keki. Padahal sudah pernah merasakan normal pas anak pertama dulu. Saya berusaha menerima, eeh orang bawel kok ada aja. Sampai akhirnya saya jadikan ide sebuah fiksi mini deh momen baby blues itu :D

    PPD karena kurang iman? Ah, mereka yg berpendapat begitu kurang empatinya, tuh. Iyes, darimana coba kita mengukur kualitas iman seseorang? ;)

    BalasHapus
  18. Saya stuju banget perhatian serta dukungan orang-orang terdekat sangat penting untuk menyembuhkan kesehatan mental sang ibu. Saya secara mengenal beberapa orang yang bermasalah setelah melahirkan. Pengen menolong dan kasih masukan. Tetapi kalao dilihat duduknya perkara, masalah sudah di mulai jauh sebelum hami dan melahirkan. Salah sau faktor yang bikin keluarga sebel, sejak awal perempuan - perempuan ini tidak bisa mendengar pendapat orang.

    BalasHapus
  19. Subhanallah, ternyata jadi ibu itu berat. Ada fase fase tertentu yang membuat depresi. Jujur, saya baru paham tentang permasalahan ini, karena memang sebelumnya di lingkungan tempat tinggal saya tidak ada yang mengalaminya

    BalasHapus
  20. MasyaAllah kak..
    luar biasa ceritanya.
    Terkadang orang suka berkata ke saya "hebat sekali, anak 5 semua urus sendiri"

    Tapi begini pun saya mengalami baby blues ringan.
    Sedang kan keletihan sampe menangis saja sudah dikategorikan sebagai baby blues ringan.

    Semoga keluarga dan lingkungan aware thd sekitar. Apalagi ibu hamil dan menyusui tak boleh dinyinyiri. Nanti mereka baper hingga ppd.

    Alhamdulillah semua berlalu dengan baik ya kak.. ♥

    BalasHapus
  21. Makasih atas sharingnya mbak...
    Bermanfaat banget.
    Kemarin aku ya baca-baca di grup kebidanan ttg kondisi ibu pasca persalinan.Cuma aku belum pernah tahu di lingkunganku ada yg mengalami hal tersebut. Atau mungkin ada yang mengalami tapi keluarga selalu mendampingi jadi tdak nampak

    BalasHapus
  22. PPD ini obat termanjurnya dr org terdekat. Suami, orang tua. Terutama suami. Gitu istri kira² udah mulai menampakkan tanda² depresi, suami sigap memberikan full support bahkan kl perlu mendampingi pergi konsul ke profesional. Tfs Mba Malica

    BalasHapus
  23. Andai wanita tahu, bahwa di luar sana ada yang jatuh bangun hanya untuk bisa punya anak

    BalasHapus
  24. Saya sendiri tidak setuju kalau Ibu yang mengalami hal ini disebut kurang iman, Mbak. Apalagi mereka tidak tau apa penyebabnya. Dan dengan sebutan seperti ini, malah semakin membuat para Ibu yang mengalami tertekan. Bagusnya adalag berempati dan keluarga terdekat harus segera membantu mengatasi jalan keluarnya.

    BalasHapus
  25. Karena menghakimi itu lebih mudah daripada menemani dan menyertai dalam kesulitan. Lebih baik tidak usah mendengarkan pendapat orang lain, fokus saja pada diri sendiri. Dengarkan kebutuhan jiwa dan hati. Dengan bercerita paling tidak ada beban yang terangkat.

    BalasHapus
  26. Pedihnya itu, kadang suami yang seharusnya jadi pelindung kita, satu-satunya orang yang bisa menolong kita dari sindrom paska melahirkan, justru enggak paham. Okelah kalo keluarga, apalagi tetangga yang seenaknya bicara dan menghakimi, asal suami mendukung dan paham, kita pasti bisa survive.
    Saya pernah di posisi ini soalnya, hihi. Ditinggal suami pas hamil besar dan efeknya buruk banget, Alhamdulillah perannya digantikan sama orang tua saya, dan bisa melewati masa-masa itu.

    BalasHapus
  27. Aku juga pernah denger dari temen yg mengalami PPD ini mbak, ngeri.
    Walau belum menikah, tapi membayangkan di posisinya seperti temenku tadi mungkin aku juga bakalan bertindak yg nggak2 sama baby, tapi syukurlah dia bisa meredamnya.
    Makasih untuk sharingnya yahh mbak

    BalasHapus
  28. Noooo ini bukan masalah iman semata. Bahkan nabi Ibrahim megngakami stres ketika harus menyembelih anaknya

    BalasHapus
  29. Jadi aku baru nyadar mbak, serasa kayak di tampar keras trus inget, pas habis melahirkan kemaren aq juga mengalami baby blues, beberapa jam setelah melahirkan rasa sedih, bingung, bahagia, pengen nangis campur jadi satu.
    Dan baru ngeh abis baca tulisan mbak.
    Makasih buat penjelasannya, tentu sangat bermanfaat.

    BalasHapus
  30. Aku juga pernah ngalamin baby blues mba pas anak pertama. Rasanya nggak jelas kayak gak kenal diri sendiri, sebel sama anak dan lain2 juga.

    Pas anak keempat ini juga rasanya hampir sama, tp berusaha supaya nggak semakin parah krn nanti gak ada yg urus anak2.

    Semoga para ibu yg kena ppd ini bisa segera tertangani dengan baik dan ada support yg bagus dr keluarga

    BalasHapus
  31. Support system dalam keluarga itu penting banget. Aku juga hampir mengalami hal itu dan untungnya aku sadar dan langsung bilang ke suami tentang keadaan ku. Alhamdulillah semua kembali membaik.

    BalasHapus
  32. Apakah seorang ibu pernah menatap anaknya dengan bengis? Ya kalau lagi marah hihi, baby blue pernah baca kasus ini, terkadang aku tidak memahami kasus baby blue

    BalasHapus
  33. Fisik, hormon, lelah, gagalnya ekspektasi, dan kurangnya diskusi dengan suami,... Itu semua sungguh sangat berat dan bisa memicu ppd.

    BalasHapus
  34. PPD sebenernya tergantung orang2 di sekitar kita, terutama suami. Saat gejala PPD dari dalam diri muncul, orang2 terdekat harus bisa memberikan dukungan mental dan fisik.

    BalasHapus
  35. Saya pribadi belum pernah menyaksikan ibu yang mengalami PPD, jadi tak bisa berkomentar banyak. Menurut yang pernah saya baca, yang jelas ibu yang didera PPD butuh dukungan keluarga yang konstruktif dan bantuan medis dari psikolog. Kayaknya sih lebih karena psikis ya walaupun solusi untuk mendekatkan diri kepada Allah tak boleh diremehkan. Semangat, Mbak!

    BalasHapus
  36. Membaca beberapa fase gejala PPD ini mengingatkan saya akan momen yang saya alami beberapa minggu ini. Tapi nggak bisa memastikan apakah hal tersebut menandakan bahwa saya terkena PPD atau enggak, mengingat anak saya juga sudah berusia 3 tahun (Anak yang super hyperactive), di mana anak usia 3 tahun ini nggak termasuk dalam kriteria fase PPD yang mbak malica tulis.

    Sempat menyendiri dan nggak peduli dg kejadian di sekitar beberapa hari, akhirnya saya memutuskan untuk kembali bersosial dengan orang-orang di sekitar saya (di luar lingkup keluarga). Sebisa mungkin saya mengisi pikiran, entah ttg pekerjaan, atau dunia tulis-menulis, maupun ngoceh sendiri di media sosial, selama pikiran saya nggak kosong, biasanya bisa menjauhkan saya dari stress yg berujung ke fase PPD tersebut.


    Semoga kita senantiasa diberi kelapangan hati ya, mbak :')

    BalasHapus
  37. Pengalaman yang ditulis dengan kisah narasi seperti ini bagus kak penyampaiannya. Harus waspada juga ya sebagai seorang ibu yang merawat anaknya terhadap post patrum depression ini*

    BalasHapus
  38. aku baru tahu kalau ternyata ada beberapa ibu yang depresi mengenai hal seperti itu, berarti seorang suami tentunya harus terus mendampingi ya mbak agar depresi seperti ini tidak berkelanjutan

    BalasHapus
  39. Kayak gini patut dibaca oleh para suami. Agar mereka tahu betapa beratnya perjuangan seorang istri setelah melahirkan. Banyak di antara suami berfikir, istri sedang bahagia karena kedatangan buah hati, padahal banyak yang justru berjuang melawan dirinya sendiri.

    BalasHapus
  40. Ulasan yang lengkap banget mbak, sangat membantu memahami apa dan bagaimana sebenarnya Post Partum Depression ini. Terkirim peluk hangat untuk setiap ibu yang sedang berjuang di luar sana.

    BalasHapus
  41. penting banget dibaca buat cowo2 yang lagi nunggu kelahiran putranya, biar bisa terus mendukung istrinya kelak

    BalasHapus
  42. Mba Malica, i'm with you and i've been there, bahkan dua kali. karena lahirannya juga dua kali, hihihi. 90% para ibu pasca melahirkan mungkin mengalami hal ini ya. yang pernah saya baca sih ada kaitannya dengan pelepasan hormon juga. baby blues atau pas portum sih menurut saya akumulasi ya, "lelah" dan "antusias" hamil 9 bulan, lelah dan sakit melahirkan ditambah baru melahirkan langsung begadang! mantap bukan? manusia mana yang sanggung menanggung beban mental sedemikian hebatnya? gak ada kecuali para ibu yang habis melahirkan!!! tapi, saya sih ambil hikmahnya ya, depresi baby blues ternyata jadi pondasi kekuatan sebagai ibu setelah itu, jadi ibu yang kuat untuk anak-anaknya. kuat begadang, kuat sama rewel anak, kuat dengan tingkah laku anak yang kadang absurd, lelahnya jadi ibu rumah tangga. yaa semua mommy lyfe lah, hehehe

    insyallah kita semua, para ibu kuat dan hebat ya

    BalasHapus

EMOTICON
Klik the button below to show emoticons and the its code
Hide Emoticon
Show Emoticon
:D
 
:)
 
:h
 
:a
 
:e
 
:f
 
:p
 
:v
 
:i
 
:j
 
:k
 
:(
 
:c
 
:n
 
:z
 
:g
 
:q
 
:r
 
:s
:t
 
:o
 
:x
 
:w
 
:m
 
:y
 
:b
 
:1
 
:2
 
:3
 
:4
 
:5
:6
 
:7
 
:8
 
:9