Bahagia itu Tanggung Jawab Diri Sendiri

Sabtu, 26 Maret 2022

Dalam buku berjudul Mengheningkan Cinta karya Adjie Santosoputro, menjelaskan ada lima racun dalam hubungan cinta dan obat penawarnya. Salah satu racun hubungan tersebut adalah memosisikan pasangan sebagai orang yang sepenuhnya bertanggung jawab atas kebahagiaan kita.



Sederhananya gini, "Kalau kamu merasa nggak bahagia, itu adalah salah pasanganmu. Karena kamu berharap pasanganmu bertanggung jawab atas kebahagianmu."


Tetapi benarkah begitu? Tepatkah pernyataan bahwa kebahagiaan kita terletak pada orang lain? 


Jawabannya TIDAK. Ini egois. Loh, kok bisa? Baca tulisan selanjutnya, ya! 


Menemukan Arti Bahagia dari Pengalaman Hidup 


Saya pernah berada di posisi di mana menggantungkan sepenuhnya kebahagiaan saya kepada pasangan hidup. Dalam hati kecil terbesit harapan, hidup saya akan selalu bahagia jika dia menemani saya sampai tua nanti. 




Tetapi, takdir berkata lain. Harapan saya kandas ketika saya berpisah dengannya, 7 tahun lalu. Di situ saya merasa hancur. Ada luka menganga yang tidak bisa disembuhkan dengan cepat. Hidup pun tak ada semangat. Seolah-olah, dengan perginya dia dari hidup saya, maka hidup saya pun dipenuhi dengan kegelapan. 


Jika ingat bagaimana saya di masa lalu, kadang saya ingin tertawa, juga merasa tolol sekali. Duh, kok bisa gitu ya? 


Tetapi dari situ, saya jadi sadar bahwa kebahagiaan itu ada bukan karena orang lain, tetapi kita yang seharusnya menciptakannya sendiri. 


Kalau mengutip kalimat Kale di film 'Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini' bahwa kebahagiaan itu tanggung jawab masing-masing. Sesederhana itu. 


Tapi jujur nih, dari pengalaman hidup, yang menurut versi saya menyakitkan itu, saya jadi banyak belajar sekaligus berusaha mencari bagaimana caranya menciptakan bahagia dalam diri. 


Versi Bahagiaku, Tentu Berbeda dengan Orang Lain. Tak Mengapa! 


Saat duduk di sekolah dasar, mungkin versi bahagia saya adalah ketika bisa menjadi juara kelas, lalu mendapat hadiah dari ibu dan bapak. Atau ketika Bu guru tidak memberikan PR harian, hingga akhirnya saya bisa bebas bermain di rumah. 

Lalu ketika saya duduk di bangku SMP dan SMA, kebahagiaan saya tercipta saat bisa kabur dari kelas ketika waktunya pelajaran yang tidak disukai. Nongkrong di kantin demi menghindari masalah pelajaran, itu udah kayak surga dunia banget. 

Beranjak dewasa, kebahagiaan di atas sama sekali tidak cukup berarti karena versinya sudah berbeda. 



Seperti ketika saya sudah memiliki anak sekarang ini. Tentu bisa melakukan 'me time' dengan menyeruput secangkir kopi di pagi hari sembari membaca buku, lalu memandang dedaunan, ini udah bikin hati saya sumrigah. 

Kadang, saya akan merasa bahagia ketika bisa bermanfaat bagi orang lain. Hal-hal kecil seperti berbagi ilmu soal blog di komunitas blogger dengan para blogger pemula. Atau bikin status positif soal 'Single Mom di media sosial untuk saling menguatkan. 

Dan setelahnya, dari sedikit berbagi ilmu itu, kadang ada blogger yang wapri merasa terbantu. Kadang juga ada waprian perempuan yang statusnya sama dengan saya jadinya merasa ada support system' sehingga dia tidak ingin menyerah. 

Sungguh, dari hal sederhana itu, saya pun merasakan kebahagiaan berlipat ganda karena melihat sedikit ilmu yang saya bagi dengan niat 'Sharing' ternyata membantu  orang lain, terlebih bisa membantu mengubah hidupnya lebih baik. 

Ada kalanya juga, kebahagiaan saya tercipta ketika bisa berbagi cerita dengan teman dekat tentang aktivitas sehari-hari, tentang pencapaian karya, tentang keluh kesah dan lainnya. 

Atau hal yang paling receh versi bahagia menurut saya, adalah ketika saat bangun pagi, saya masih bisa mencium bau asem jagoan dan putri saya. Well, ini jarang dan patut saya syukuri karena Allah memberikan saya fisik yang sehat hingga sejauh ini sebagai Single mom, saya bisa mendidik sekaligus merawat dua bocah tersebut dengan cara saya sendiri. 

Menghadirkan Kebahagiaan dengan Menguatkan Mindset Tentang Bahagia


Menurut kata bijak, bahagia itu sederhana. Tetapi bagi saya, bahagia itu tidak sederhana sebelum saya tahu ilmunya.

Seperti beberapa versi kebahagiaan yang saya sebutkan di atas, sejujurnya saya perlu melatihnya, lho. 



Asal tahu saja, saya tidak bisa menciptakan kebahagiaan pada diri saya sendiri dengan cara yang instan. Tidak juga dalam waktu yang singkat. Pada kenyataannya, saya bisa menemukan sebuah kebahagiaan yang hakiki ketika saya belajar dari masalah dan membuka mindset tentang bahagia. 

Dan mindset soal bahagia itu, saya peroleh dari hasil diskusi dengan teman 
tentang buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring mengenai dikotomi kendali.

"Mbak Mal, mau bahagia ya bahagia saja, nggak perlu menunggu hal lain, apalagi orang lain. Hidup Mbak Malica tanggungjawab mbak sendiri, bukan orang lain. Jika nggak mau sakit, belajarlah untuk lebih mengendalikan pikiran, bukan main perasaan."


Well, ketika perasaan lebih dominan bermain, kebahagiaan itu akan semakin menjauh. Karena akan mudah sekali bagi diri kita untuk merasa rapuh, hancur, dan menelan kekecewaan yang mendalam ketika kita menggantungkan kebahagiaan pada hal yang ada di luar kendali.

Maka dari itu, penting untuk memahami apa saja yang bisa kita kendalikan sehingga kebahagiaan itu mudah untuk kita ciptakan. 

Pertanyaannya, apa saja hal yang bisa kita kendalikan? 

Yang bisa kita kendalikan adalah pemikiran kita, reaksi kita, tujuan kita, serta segala sesuatu yang berasal dari dalam diri kita sendiri. Inilah yang menciptakan sebuah kebahagiaan dalam diri. 

Sedangkan jika sesuatu itu berhubungan dengan orang, tindakan orang lain, pemikiran orang lain, atau opini orang lain, sebaiknya abaikan saja. 

Ingat, orang lain bukan tanggung jawab kita, kan? Tanggungjawab kita adalah diri kita sendiri. Maka, kebahagiaan kita juga yang menciptakan adalah berasal dari diri sendiri. Teori seperti inilah yang ditekankan di buku FILOSOFI TERAS. 

Jadi, Kebahagiaan itu Apa? Dan Bagaimana Menciptakannya? 


Kesimpulannya, bahagia itu sesungguhnya datang dari diri sendiri, bukan dari apa atau siapa. Fokuslah pada sesuatu yang bisa kita kendalikan, maka disitulah kebahagiaan bisa kita ciptakan. 


Namun jika saat ini hidup kita masih terasa dipenuhi kesedihan, tak ada salahnya buat mencoba untuk merenungkan makna hidup dan kebahagiaan. Barangkali, kita masih terlalu terbebani dengan patokan kesuksesan orang lain, daripada fokus pada 'Sebenarnya apa sih yang kita inginkan dalam hidup?'

Karena terkadang ada benarnya bahwa Hidup ini sangat sederhana, tetapi kita bersikeras membuatnya rumit. That's the point. Right? 


1 komentar on "Bahagia itu Tanggung Jawab Diri Sendiri"
  1. Iya, kita kadang paham bahwa bahagia itu hanya dapat diciptakan oleh diri sendiri bukan karena orang lain. Hanya saja otak tidak kompak dengan hati 🤭

    BalasHapus

EMOTICON
Klik the button below to show emoticons and the its code
Hide Emoticon
Show Emoticon
:D
 
:)
 
:h
 
:a
 
:e
 
:f
 
:p
 
:v
 
:i
 
:j
 
:k
 
:(
 
:c
 
:n
 
:z
 
:g
 
:q
 
:r
 
:s
:t
 
:o
 
:x
 
:w
 
:m
 
:y
 
:b
 
:1
 
:2
 
:3
 
:4
 
:5
:6
 
:7
 
:8
 
:9