Suatu siang yang terik, di sebuah gang kecil di Joyoboyo, seorang nenek berdiri memandangi kotak makanan yang dibawa relawan Garda Pangan. Tubuhnya ringkih, bajunya lusuh, dan di matanya terpantul kelelahan panjang. Ketika uluran bantuan itu sampai ke tangannya, ia meraih… bukan piring, bukan mangkuk melainkan sebuah gayung plastik bekas.
Warnanya telah memudar, pegangan kecilnya retak di satu sisi. Gayung itu ia angkat dengan dua tangan, seperti memegang benda paling berharga yang dimilikinya.
“Ini yang saya pakai sehari-hari,” ujarnya lirih, seolah meminta maaf atas hidup yang terpaksa dijalani.
Bagi Kevin Gani, pendiri Garda Pangan, pemandangan itu bukan sekadar adegan yang menyentuh hati, akan tetapi itu adalah pukulan. Ia datang membawa makanan layak, hasil surplus dari tempat-tempat yang berkelebihan, tetapi disambut simbol kemiskinan paling telanjang, seseorang yang bahkan tak punya wadah untuk menerima rezeki.
Di hadapannya, gayung kusam itu menjelma menjadi metafora yang sangat jujur tentang jurang yang memisahkan mereka yang memiliki segalanya dan mereka yang tak punya apa-apa.
Pertemuan-pertemuan seperti inilah yang kemudian mendorong Kevin mendirikan Garda Pangan pada tahun 2017, sebuah organisasi sosial yang berfokus pada penyelamatan makanan berlebih yang masih layak konsumsi untuk disalurkan kepada masyarakat prasejahtera, termasuk para lansia seperti sang nenek.
Kontras itu semakin perih ketika angka-angka mulai bicara. Bappenas mencatat Indonesia menghasilkan 48 juta ton sisa makanan setiap tahun angka yang mencengangkan untuk sebuah negara yang masih berjuang mengatasi kemiskinan. Ketua Umum IGC Ria Musiawan bahkan menegaskan, dalam peringatan Hari Gastronomi Berkelanjutan 2025, bahwa Indonesia kini menjadi penghasil sampah makanan terbesar kedua di dunia.
Di panggung global, FAO menampilkan gambaran tak kalah gelap.Lebih dari 1,3 miliar ton makanan terbuang setiap tahun, setara sepertiga produksi pangan dunia. Angka-angka itu berubah menjadi bayangan tumpukan pangan membusuk, aroma limbah yang menyesakkan, dan di sisi lain seorang nenek yang menadahkan gayung plastik demi sesuap makan.
Pada persimpangan dua realitas itulah, kita dipaksa menatap diri sendiri. Apa arti kemajuan, jika di balik gedung-gedung megah masih ada manusia yang hidup dari sisa makanan orang lain? Apa arti modernitas, jika kelaparan dan pemborosan berjalan berdampingan?
Kisah nenek di Joyoboyo bukan hanya cerita tentang kemiskinan. Ia adalah pengingat yang menampar bahwa jurang antara yang berlebih dan yang berkekurangan bukan lagi sekadar ketimpangan sosial. Itu sudah menjadi jurang kemanusiaan. Jurang yang hanya bisa kita jembatani bila mulai peduli pada satu hal sederhana: jangan biarkan makanan terbuang, ketika masih ada manusia yang kelaparan.
Negara Penuh Pangan, Namun Rawan Sampah
Di Indonesia, makanan melimpah. Dari sawah ke pasar, dari padi hingga sayuran, meja-meja kita seolah tak pernah kekurangan. Tapi di balik kemewahan itu, ada kenyataan pahit: setiap tahun, 23–48 juta ton makanan dibuang begitu saja. Angka itu bukan sekadar statistik, melainkan cerita tentang pemborosan, limbah, dan manusia yang masih kelaparan.
Bayangkan sebutir nasi yang membusuk di TPA. Di sana, ia berubah menjadi gas metana, 28 kali lebih kuat dalam memanaskan bumi dibanding karbon dioksida. Gas ini diam-diam menumpuk, menjadi “bom waktu” bagi iklim dan kesehatan manusia. Tragedi Leuwigajah di Cimahi pada 21 Februari 2005 menjadi bukti nyata: longsoran sampah menewaskan 157 orang, menghancurkan dua desa, meninggalkan duka mendalam, dan menjadi pengingat setiap tahun melalui Hari Peduli Sampah Nasional.
Sementara itu, banyak balita Indonesia masih menelan kenyataan pahit lain: kekurangan gizi. Data Riskesdas 2018 mencatat 13,8 persen balita kurang gizi, 3,9 persen menderita gizi buruk, dan lebih dari sepertiga rumah tangga masih mengandalkan bantuan beras miskin untuk bertahan hidup. Kontras ini menegaskan satu hal: pemborosan makanan bukan sekadar masalah lingkungan. Ini masalah kemanusiaan.
Upaya pemerintah ada, peraturan ada, namun implementasinya masih jauh dari kata cukup. Sampah organik dilarang masuk TPA di beberapa daerah, tetapi kenyataannya, kesadaran masyarakat dan pengawasan masih lemah. Masalah ini tidak bisa diselesaikan sendiri-sendiri. Diperlukan sinergi nyata antara pemerintah, lembaga, dan masyarakat—dari kota hingga desa—agar sampah makanan bisa dikelola, bukan hanya jadi wacana.
Solusinya ada di tangan kita semua. Edukasi tentang dampak limbah makanan, inovasi pengolahan sampah organik, hingga penegakan hukum yang konsisten bisa menjadi awal perubahan. Setiap tindakan kecil, dari memilah sisa makanan di rumah hingga mendukung program pengelolaan sampah, dapat mengubah pola konsumsi. Lebih dari itu, bisa menyelamatkan sumber daya, lingkungan, dan yang terpenting nyawa manusia.
Karena di negeri yang kaya akan pangan ini, tidak ada satu butir nasi pun yang seharusnya sia-sia.
Garda Pangan Hadir Menjadi Oase di Tengah Banyaknya Makanan Terbuang
Potret limbah makanan di Indonesia juga terlihat di Surabaya, di mana banyak makanan tersisa berakhir di tempat sampah. Namun, bagi sebagian orang, satu porsi makanan bisa menyelamatkan hari mereka. Kevin Gani menyadari hal ini setelah bertemu seorang nenek prasejahtera di Joyoboyo yang tidak memiliki piring dan harus berbagi makanan dengan kucingnya. Pemandangan itu meninggalkan kesan mendalam: di balik limbah makanan, ada kehidupan yang bergantung pada sisa makanan.
Kejadian itu membuat Kevin memandang isu sampah makanan lebih luas. Membuang makanan bukan sekadar kehilangan bahan pangan, tetapi juga menyia-nyiakan air, energi, dan tenaga petani yang menanamnya. Bagi Kevin, menyia-nyiakan makanan berarti menyia-nyiakan kehidupan itu sendiri.
Dari kesadaran tersebut, Garda Pangan lahir pada Juni 2017. Sebagai social enterprise dan food bank perintis, Garda Pangan menjadi pusat koordinasi makanan surplus dan berpotensi terbuang.
Dan hingga saat ini, Garda Pangan telah menyelamatkan lebih dari 600 ribu porsi makanan untuk sekitar 28 ribu penerima manfaat. Setiap porsi yang terselamatkan bukan sekadar angka, tetapi cerita kehidupan yang terselamatkan, tenaga yang dihargai, dan sumber daya alam yang dilindungi.
Tiga Pilar Garda Pangan, Ciptakan Solusi Berdampak Nyata
Kevin selalu merasa bahwa masalah sampah makanan bukanlah hal sederhana. Setiap hari, jutaan ton makanan layak konsumsi justru terbuang sia-sia di Indonesia, sementara masih banyak keluarga yang kesulitan memenuhi kebutuhan pangan dasar mereka. Baginya, permasalahan ini kompleks dan tidak bisa diselesaikan dengan satu solusi tunggal. Dari kesadaran itulah lahirlah Garda Pangan, food bank pionir di Jawa Timur yang mencoba menghadirkan solusi holistik, menggabungkan kepedulian sosial, lingkungan, dan ekonomi dalam satu misi yang terpadu.
Kevin percaya bahwa makanan bukan sekadar kebutuhan dasar, tapi juga simbol kepedulian. Dengan pendekatan yang menyentuh berbagai lapisan masyarakat, Garda Pangan berusaha memastikan bahwa setiap makanan yang masih layak pakai tidak hanya terselamatkan, tapi juga membawa manfaat yang lebih luas bagi masyarakat dan bumi.
Food Rescue: (Penyelamatan Makanan Surplus)
Di Garda Pangan, salah satu gerakan paling menonjol adalah Food Rescue. Di sini, makanan berlebih bukanlah sampah. Setiap hari, tim relawan yang disebut “Food Heroes” bergerak dengan semangat untuk menyelamatkan makanan yang masih layak dikonsumsi. Mereka menjalin kerja sama dengan hotel, restoran, katering, hingga penyelenggara acara pernikahan, membangun jaringan kebaikan yang tersebar di seluruh kota.
Gerakan ini bukan sekadar menjemput makanan; setiap langkah dirancang untuk memberikan dampak nyata. Makanan yang dikumpulkan disortir, diperiksa kualitasnya, dan dikemas ulang dengan standar higienis sebelum didistribusikan kepada masyarakat yang membutuhkan: keluarga prasejahtera, lansia, anak-anak di panti asuhan, dan komunitas rentan.
Dampak nyata dari gerakan ini terlihat jelas. Misalnya, setiap hari ratusan porsi makanan tersalurkan ke tangan mereka yang membutuhkan. Bukan hanya mengurangi kelaparan, tetapi juga mencegah jutaan kilogram makanan layak konsumsi terbuang sia-sia. Lebih dari itu, gerakan Food Rescue juga membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya mengurangi sampah makanan. Kevin selalu menekankan bahwa Food Rescue bukan hanya soal memberi makanan, tetapi juga soal membangun budaya kepedulian: satu aksi kecil bisa menghasilkan perubahan besar dalam kehidupan banyak orang.
Gleaning (Mengumpulkan Sisa Panenan)
Selain Food Rescue, Garda Pangan juga menurunkan perhatian ke hulu rantai pangan, yaitu di lahan pertanian. Melalui program Gleaning, relawan turun langsung ke kebun dan ladang untuk menyelamatkan hasil panen yang berisiko terbuang.
Gleaning memanfaatkan sisa panen yang biasanya ditinggalkan oleh petani karena alasan produksi atau harga yang anjlok. Dengan membeli atau mengambil panen berlebih ini, Garda Pangan tidak hanya mengurangi limbah, tetapi juga memberikan dukungan ekonomi langsung kepada petani. Program ini membantu petani mendapatkan penghasilan tambahan dan mendorong keberlanjutan usaha mereka, sekaligus mengajarkan bahwa setiap buah dan sayur memiliki nilai, bukan sekadar angka di pasar.
Dampak nyata dari program ini juga terasa. Petani yang sebelumnya khawatir dengan panen berlebih kini memiliki kesempatan untuk menjual hasilnya, sementara masyarakat yang kekurangan pangan mendapatkan sayur dan buah segar. Dari kebun ke meja makan, setiap langkah Gleaning mengurangi sampah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Food Drive (Penggalangan Makanan Berlebih)
Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan keberagaman budaya, tradisi, dan keyakinan. Beragam perayaan dan hari besar di tanah air hampir selalu menghadirkan makanan dalam jumlah melimpah. Namun, di balik sukacita perayaan tersebut, sering kali muncul masalah yang kurang terlihat: makanan yang berlebihan berisiko menjadi sampah jika tidak dikelola dengan baik.
Menanggapi hal ini, Garda Pangan hadir dengan inisiatif food drive, yaitu program pengumpulan donasi makanan surplus pada momen-momen tertentu. Program ini tidak hanya membantu memanfaatkan makanan yang masih layak konsumsi, tetapi juga meringankan beban mereka yang membutuhkan. Contohnya, pasca perayaan Idul Fitri, banyak kue kering yang tersisa dari rumah-rumah warga, atau saat terjadi bencana alam di mana masyarakat memerlukan bantuan pangan segera.
Pengumpulan donasi ini dilakukan secara fleksibel. Garda Pangan menyiapkan drop point di berbagai lokasi strategis di Surabaya, memudahkan masyarakat untuk menitipkan donasi. Selain itu, relawan juga bersedia menjemput langsung donasi dari pihak yang ingin berpartisipasi, sehingga setiap makanan yang masih layak pakai dapat tersalurkan dengan cepat dan aman.
Melalui inisiatif ini, Garda Pangan tidak hanya mengurangi potensi limbah makanan, tetapi juga menumbuhkan kesadaran sosial di tengah masyarakat: bahwa berbagi makanan surplus bisa menjadi bentuk kepedulian nyata dan berdampak langsung bagi mereka yang membutuhkan.
Mengubah Kesadaran Menjadi Aksi
Kisah Garda Pangan bukan sekadar tentang menyelamatkan makanan. Ia adalah tentang mengubah kesadaran menjadi aksi nyata, tentang bagaimana satu gerakan bisa memberikan dampak yang terasa luas bagi masyarakat dan lingkungan.
Kevin percaya bahwa solusi masalah pangan harus holistik tidak hanya menyasar mereka yang kelaparan, tetapi juga mendukung petani, mengurangi limbah, dan membangun ekonomi berkelanjutan. Dengan tiga pilar ini, Garda Pangan menunjukkan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari hal-hal kecil: satu makanan yang diselamatkan, satu panen yang tidak terbuang, satu inovasi bioekonomi yang ramah lingkungan.
Lebih dari itu, Garda Pangan juga menginspirasi masyarakat untuk ikut peduli. Dari relawan, mitra restoran, hingga masyarakat penerima manfaat, semua menjadi bagian dari ekosistem kebaikan yang saling menguatkan. Kisah ini membuktikan bahwa ketika empati bertemu dengan aksi dan inovasi, dampaknya bisa nyata dan luas.
Kevin sering menutup ceritanya dengan satu pesan sederhana tapi kuat: “Setiap makanan yang kita selamatkan adalah satu kehidupan yang lebih baik, satu bumi yang lebih hijau, dan satu masyarakat yang lebih peduli.”
Bukti Nyata dari Perjuangan Tanpa Henti
Sejak mendirikan Garda Pangan, langkahnya tidak pernah mudah. Food bank adalah konsep yang masih sangat baru di Indonesia. Banyak yang belum mengerti mengapa makanan yang masih layak konsumsi justru dibagikan secara gratis. Kevin harus sabar menjelaskan, meyakinkan, dan membangun kepercayaan dengan petani, toko, restoran, hingga masyarakat luas. Setiap pertemuan adalah perjuangan, tapi juga harapan.
Setiap hari, tantangan datang dalam bentuk waktu dan kondisi makanan. Makanan segar harus diselamatkan dan didistribusikan dengan cepat. Jika terlambat satu jam saja, makanan bisa rusak. Setiap kotak sayuran, setiap buah, adalah perjuangan melawan waktu. Kevin dan timnya bekerja seperti detektif logistik, merencanakan rute, memastikan suhu makanan terjaga, dan memprioritaskan siapa yang harus menerima terlebih dahulu.
Tidak hanya soal distribusi, Kevin juga menghadapi persoalan hasil panen yang dianggap “tidak sempurna.” Banyak petani yang frustasi karena sebagian besar panennya harus dibuang. Di sinilah Kevin melihat peluang. Ia mengajak para petani bekerja sama, mengumpulkan hasil panen yang masih layak makan, dan memastikan semuanya cepat sampai ke tangan mereka yang membutuhkan. Dalam prosesnya, petani merasa dihargai, makanan tidak terbuang, dan masyarakat yang kekurangan mendapatkan bantuan.
Semangat Kevin tidak berhenti pada pengumpulan makanan. Ia juga membangun komunitas. Lebih dari 1.500 relawan muda, yang dikenal sebagai Food Heroes, bergerak bersamanya. Mereka menjadi ujung tombak perubahan, dari kota hingga desa, membawa porsi makanan yang diselamatkan ke keluarga, panti asuhan, hingga lembaga sosial. Kevin tidak hanya menyelamatkan makanan, tapi juga menumbuhkan rasa empati dan kepedulian dalam diri para relawan.
Hingga tahun 2025, hasilnya luar biasa. Garda Pangan berhasil menyelamatkan dan mendistribusikan lebih dari 600.000 porsi makanan, menjangkau sekitar 28.000 penerima manfaat di Jawa Timur. Setiap angka bukan sekadar statistik, tapi cerita tentang kehidupan yang tersentuh, perut yang kenyang, dan harapan yang muncul kembali.
Dedikasi Kevin juga mendapat pengakuan nasional. Ia menerima ASTRA SATU Indonesia Awards, apresiasi bagi generasi yang berkontribusi menciptakan kehidupan berkelanjutan. Penghargaan ini bukan hanya tanda prestasi, tapi bukti nyata bahwa empati yang diubah menjadi aksi mampu menggerakkan perubahan besar dalam masyarakat.
Namun, tantangan Kevin tidak berhenti di situ. Ia terus memikirkan cara memperluas jangkauan layanan, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya mengurangi limbah makanan, dan membangun kemitraan yang berkelanjutan. Kevin tahu, perubahan yang besar lahir dari konsistensi dan kerja sama, bukan hanya dari satu orang atau satu inisiatif.
Meski perjalanan ini penuh rintangan, satu hal pasti: semangat Kevin untuk menyelamatkan makanan dan memberi harapan kepada mereka yang membutuhkan tidak pernah padam. Setiap porsi yang terselamatkan adalah bukti nyata bahwa satu orang, dengan tekad dan hati yang besar, bisa mengubah dunia, sedikit demi sedikit.
Dan di balik semua angka, statistik, dan penghargaan, yang paling penting bagi Kevin adalah melihat senyum seorang anak yang akhirnya mendapat makanan layak, atau seorang petani yang merasa hasil panennya dihargai. Dari situlah, Kevin terus maju, karena ia tahu: setiap makanan yang diselamatkan adalah hidup yang terselamatkan juga.




