Pernahkah kita membayangkan, berapa banyak anak Indonesia yang tumbuh dengan senyum yang sebenarnya sedang menahan nyeri?
Di balik tawa mereka di sekolah, ada gigi berlubang yang dibiarkan, nyeri yang dianggap biasa, dan sikat gigi yang mungkin tak pernah benar-benar mereka miliki.
Masalah ini jauh lebih besar dari sekadar lubang di gigi. Minim edukasi tentang kesehatan gigi dan mulut membuat 93 persen anak Indonesia berusia 5–6 tahun mengalami gigi berlubang.
Padahal, dampaknya tak berhenti di sana. Rendahnya kesadaran menjaga gigi sejak dini bisa memengaruhi tumbuh kembang dan asupan nutrisi anak.
Senyum yang seharusnya menjadi simbol keceriaan, perlahan hilang di balik rasa nyeri dan ketidakpedulian.
Namun di ujung timur Pulau Bali, ada seorang perempuan muda yang menolak untuk diam melihat kenyataan itu.
Namanya drg. Komang Ayu Sri Widyasanthi, atau yang akrab disapa Komang Ayu.
Sejak beberapa tahun terakhir, ia mengabdikan diri di Kabupaten Karangasem, wilayah yang diapit bukit dan sawah, di mana akses kesehatan gigi masih terbatas dan banyak anak bersekolah tanpa tahu bagaimana cara menyikat gigi dengan benar.
Dari pengalamannya turun langsung ke sekolah-sekolah dan komunitas, lahirlah “Gerakan Gigi Bali Sehat”, sebuah inisiatif yang ia mulai pada Oktober 2018.
Komang Ayu menaruh perhatiannya pada anak-anak usia 6–14 tahun di pedesaan.
Kini, gerakan itu telah menjangkau Kabupaten Bangli dan Gianyar, membawa pesan sederhana: setiap anak berhak tersenyum tanpa rasa sakit.
Bagi Komang Ayu, gerakan ini bukan sekadar kampanye kesehatan, tetapi panggilan hati. Setiap langkahnya di jalan berdebu pedesaan bukan sekadar perjalanan profesi, melainkan juga perjalanan hati, sebagai bukti bahwa kesehatan dan harapan bisa tumbuh dari tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota.
Awal Mula Gerakan Gigi Bali Sehat
Tepatnya tahun 2018, Ayu memulai perjalanannya sebagai mahasiswa koas. Tahun yang menguras tenaga dan pikiran, katanya. sebab, setiap hari di rumah sakit adalah perlombaan tanpa garis akhir, mulai dari memburu pasien, menuntaskan diagnosis, dan tenggelam dalam tumpukan tugas yang tak berkesudahan.
Tubuhnya pun menjerit minta jeda.
Di tengah kepenatan itu, Ayu mencari pelarian. Akhirnya, ia memutuskan pergi ke Desa Kintamani, Bali, bukan sebagai calon dokter yang terikat catatan medis, melainkan sebagai relawan Komunitas Bali Baca Buku di sebuah Sekolah Dasar terpencil.
Di sana, ia menemukan sesuatu yang berbeda dan menenangkan. Suasana dipenuhi gelak tawa murni, teriakan yel-yel, dan kesibukan anak-anak yang asyik bermain sambil belajar.
Menatap mereka, Ayu merasakan energi yang tak pernah ia temui di koridor rumah sakit. Getaran positif menular, yang membuat dadanya terasa ringan. Ia ikut hanyut, ikut tersenyum lebar, dan merasakan semangatnya kembali terisi.
Tibalah sesi edukasi kesehatan. Ayu, dengan bekal pengetahuannya, mengajukan pertanyaan yang ia kira paling mendasar: “Siapa yang tidak punya sikat gigi?”
Seketika, tangan-tangan mungil itu melambung ke udara. Semua, tanpa terkecuali. Awalnya, ia menahan senyum, mengira mereka hanya berebut hadiah. Namun, pandangan serius di wajah-wajah polos itu tak bisa ia abaikan.
Ia mulai bertanya satu per satu, dan apa yang ia dengar membuatnya tersentak. Beberapa anak berbagi satu sikat gigi untuk seluruh anggota keluarga.
Lebih mengejutkan lagi, ada yang sama sekali tidak memiliki sikat gigi, menggantinya dengan jari yang diolesi sabun mandi batangan atau bahkan dedaunan.
Realitas itu menghantam Ayu. Anak-anak yang seharusnya tersenyum cerah dengan gigi sehat, justru menyentuh mulut mereka dengan cara yang memilukan. Kebutuhan yang bagi Ayu hanyalah rutinitas harian, bagi mereka di Kintamani adalah kemewahan yang tak terjangkau.
Hati Ayu tercekat, rasa lelahnya di rumah sakit mendadak terasa tak berarti dibandingkan perjuangan dasar yang ia saksikan di depannya.
Dari pengalaman itu, Ayu merasa ada sesuatu yang harus dilakukan. Ia ingin menciptakan gerakan yang bisa mendampingi anak-anak, memberikan mereka sarana untuk menjaga kesehatan dengan cara yang menyenangkan dan nyata.
Kenyataan yang ditemuinya di sekolah hanyalah salah satu pemicunya. Ada alasan lain yang membuat anak-anak menjadi fokusnya: bagi Ayu, mereka adalah masa depan.Generasi yang akan menentukan arah Bali.
Ia membayangkan jika anak-anak bisa menanamkan kebiasaan sehat sejak kecil, mereka akan tumbuh dengan karakter yang kuat, mudah belajar, dan mampu bersosialisasi dengan baik.
Gambarannya itu seperti benih yang ditanam hari ini, yang suatu hari akan tumbuh menjadi pohon yang rindang dan kokoh.
Dari visi tersebut juga yang membuat Ayu bersama empat temannya mulai merancang sebuah komunitas, sebuah gerakan kecil yang akhirnya diberi nama Gerakan Gigi Bali Sehat.
Kisah Gerakan Gigi Bali yang Menginspirasi
Langkah awal dimulai dengan penggalangan donasi sikat gigi dan pasta gigi dari lingkaran terdekat Ayu, seperti keluarga, teman, rekan mahasiswa, hingga beberapa dosen yang turut ambil bagian.
Lewat kampanye sederhana berjudul “Satu Sikat Gigi Berarti”, Ayu dan tim berhasil mengumpulkan donasi sesuai target mereka.
Tak lama kemudian, Gerakan Gigi Bali Sehat mengadakan aksi sosial pertamanya, bekerja sama dengan Komunitas Bali Baca Buku di desa yang sebelumnya dikunjungi Ayu.
Di lapangan, anak-anak menerima donasi dengan mata berbinar, namun bukan sekadar pemberian barang. Mereka juga diajak mempraktikkan cara menyikat gigi yang benar.
Ayu dan tim mengajarkan pentingnya menyikat gigi dua kali sehari, menggunakan pasta secukupnya, serta berkumur tiga kali agar kandungan fluoride tetap maksimal.
Dengan alat peraga, anak-anak mencoba sendiri langkah-langkahnya, sementara kuis interaktif dengan hadiah kecil menambah keceriaan dan semangat belajar.
Gerakan Gigi Bali Sehat tidak berhenti di satu desa saja. Dalam tiga tahun terakhir, mereka menjangkau hampir seluruh kabupaten di Bali, dari Kintamani hingga Pemuteran, menyalurkan donasi sekaligus edukasi.
Kelas binaan yang dijalankan memastikan anak-anak tidak hanya mendapat pengetahuan sekali, tetapi rutin mengulang kebiasaan sehat.
Setiap dua minggu, tim kembali membawa pasta gigi baru atau mengganti sikat yang sudah aus, dengan harapan kebiasaan ini menular, dari satu anak ke teman-teman dan keluarga di sekitarnya.
Dari Empat Menjadi Tujuh Puluh Lima: Jejak Gerakan Gigi Bali Sehat
Seiring waktu, langkah kecil Ayu dan teman-temannya mulai bergaung lebih jauh. Dari sekadar kegiatan sederhana bersama empat orang sahabat, kini Gerakan Gigi Bali Sehat menjelma menjadi komunitas besar dengan 75 relawan yang datang dari berbagai latar belakang.
Tak hanya mahasiswa kesehatan, ada pula yang berprofesi di bidang pariwisata, manajemen, hingga arsitektur, semuanya disatukan oleh semangat yang sama: menebarkan senyum sehat bagi anak-anak Bali.
Undangan demi undangan berdatangan, mulai dari kolaborasi dengan komunitas sosial hingga ajakan dari kelompok mahasiswa KKN untuk memberikan edukasi di desa-desa.
Nama Gerakan Gigi Bali Sehat pun semakin sering terdengar dalam berbagai kegiatan masyarakat.
Di balik setiap senyum anak yang kini lebih percaya diri, ada kerja keras puluhan tangan yang tak kenal lelah, dan juga dukungan para donatur yang setia mempercayai langkah mereka.
Ayu menyadari, perjalanan mereka belum berhenti di sini. Setelah bertahun-tahun menyalakan semangat lewat edukasi dan donasi, kini ia ingin Gerakan Gigi Bali Sehat bisa melangkah lebih jauh bukan hanya mengajarkan cara menjaga gigi, tapi juga benar-benar membantu anak-anak yang sudah terlanjur menderita karies atau gigi goyah.
Namun ia tahu, cita-cita itu tak bisa dicapai hanya dengan niat baik. Dibutuhkan perlengkapan medis, ruang praktik, dan dukungan tenaga profesional agar penanganan bisa dilakukan dengan aman.
Di sela-sela kesibukannya, Ayu sering membayangkan satu hari nanti seluruh relawan bisa berkumpul di satu tempat, turun langsung ke lapangan, dan bersama-sama menyebarkan aksi nyata.
Ia ingin melihat anak-anak tersenyum tanpa rasa sakit, tanpa harus berbagi satu sikat gigi untuk seisi rumah. Dalam benaknya, masa depan yang sehat dan penuh senyum itu bukan sekadar harapan melainkan janji yang sedang mereka wujudkan, sedikit demi sedikit.
Penghargaan yang Menguatkan Langkah
Tahun 2021 menjadi bab istimewa dalam perjalanan Ayu.
Upayanya menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya kesehatan gigi anak-anak akhirnya mendapat apresiasi lewat Satu Indonesia Awards tingkat Provinsi dari Astra, untuk bidang kesehatan.
Namun bagi Ayu, penghargaan itu bukan akhir perjalanan melainkan sumber energi baru untuk melangkah lebih jauh.
Bersama Astra Motor Bali, ia melanjutkan misinya dengan berbagi ratusan paket sikat gigi bambu dan pasta gigi kepada anak-anak di Gianyar.
Setiap kunjungan selalu membawa cerita. Di awal, banyak anak yang menatap dengan cemas, mengira Ayu dan tim datang membawa suntikan.
Tapi kini, mereka justru berlari menyambut, memanggil namanya dengan penuh semangat.
Di Desa Suter, Bangli, ada satu anak yang tumbuh bersamanya dari usia tiga tahun hingga kini duduk di bangku sekolah dasar.
Meski kegiatan relawan tak jarang menguras tenaga, rasa lelah itu selalu tergantikan oleh tawa dan pelukan hangat anak-anak.
Bagi Ayu, setiap senyum yang lahir dari keberanian untuk menggosok gigi sendiri adalah bukti bahwa perjuangannya tak sia-sia. Selama masih ada senyum yang bisa dijaga, langkahnya tak akan berhenti.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar