Masih Ditanya Kapah Nikah? Ini Jawaban dari Lubuk Hati Terdalam

Sabtu, 14 Agustus 2021


Kapan Nikah? Itu adalah pertanyaan yang sering kudengar. Sejak aku berusia 25 tahun sampai sekarang. Kini usiaku sudah mau masuk ke 32 tahun. Tepatnya pada  Oktober tahun ini. 

Pertanyaan senada, Sudah nikah belum? Juga sering dilontarkan kepadaku. Ampun dah, aku sampai bingung harus bagaimana menimpalinya. 



Ya begitulah susahnya hidup di Indonesia sebagai perempuan 30-an yang belum menikah. Orang terlanjur mencap sebagai perawan tua, tak laku, pemilih, terlalu sibuk, terlalu mandiri, kurang usaha, doa tak diijabah. Entah apa lagi. 


Sayur Tumbuh Subur, Matahari Bersinar Lembut


Untuk sekarang, sebenarnya aku agak malas untuk membahas tentang pertanyaan ‘kapan nikah’ ini. 


Rencananya, aku akan menuliskannya nanti kalau sudah menikah. Biar aku tak curhat belaka. Khawatir aja sih, aku belum bisa menahan diri soalnya. Aku kerap kali senewen loh kalau ada yang tanya, "Kapan nikah, Luk?"


Tapi rasanya akan terlalu lama kalau menunggu aku menikah dulu. Apalagi aku belum ada rencana menikah. Juga tak tahu kapan akan menikah. Masih belum ada calon soalnya.


Memang masalah ya ditanya ‘kapan nikah’? Akhir-akhir ini iya. Sebab sampai mengganggu pikiranku. Karenanya, kuputuskan untuk menuliskan perasaan terdalamku tentang pertanyaan ‘kapan nikah’ sekarang saja. 


Bersamaan dengan sayu-sayur yang kutanam dan tumbuh subur. Tadi pagi aku sudah meng-upload-nya di instagram. Cek nanti ya di akun @luluksobari. Postingan tanggal 14 Agustus 2021.



Mentari juga sedang bersinar hangat. Meski sudah pukul 11.00 siang. Mungkin efek mendung sedari pagi. 


Ditemani alunan lagu-lagu bollywood. Salah satu genre lagu yang kusuka. Mendengar lagu ini, otak kananku bisa aktif seketika. Menghadirkan banyak kenangan di masa lalu.


Yap, sejak kecil aku sudah lekat dengan film-film India. Ketika SD, pernah aku berada di jamban. Tetanggaku menyetel lagu Mohabbattein sangat keras. Alunan musiknya merdu sekali. Sampai-sampai aku lupa kalau aku sedang buang hajat.


Tanaman yang subur, mentari yang bersinar indah, dan lagu bollywood. Cukup untuk membuatku tenang dan santai. Aku pun jadi lebih percaya diri untuk menulis dengan kalem.


Susahnya Jadi Perawan (Tua) di Indonesia


Aku tidak pernah menghitung. Jadi aku tidak tahu pastinya berapa. Tapi aku bisa mengatakan, sangat sering. Terlalu sering malah. Orang bertanya ‘kapan nikah?’ dan ‘sudah menikah belum?’


Dari sekian banyak kejadian. Aku hanya akan menceritakan 4 kejadian saja. Kenapa? Karena 4 kejadian ini yang membuatku kemudian meradang. Aku sampai mengoceh di status WA dan FB.


Padahal aku sudah berkomitmen untuk tak lagi curhat-curhat di sosmed. Aku hanya akan menggunakan sosmed untuk personal branding saja. Tapi ya sudahlah, rupanya aku belum berhasil menjaga komitmenku sendiri.  


Sekarang, mari lanjut membahas tentang 4 cerita yang kumaksudkan!


Rumah Isolasi OTG Suramadu


13 Juni 2020, aku terjaring swab massal covid-19 di daerah Petapan. Di jalan akses menuju jembatan Suramadu.


Kemudian, hasil swab antigenku positif. Aku dan orang lain yang dinyatakan positif langsung diboyong ke Rumah Isolasi OTG Suramadu. Terletak di dekat pintu tol Suramadu.


Rasanya aku pengen marah. Bagaimana tidak? Aku sudah menyusun banyak rencana. Mau menulis, mau berkebun, mau bikin video. Seketika semua harus berantakan.


Belum lagi selama di tempat isolasi, migrainku kambuh. Sementara, migrain adalah pertanda kalau aku sedang stres berat.


Apa yang bikin aku stres? Apa karena positif covid-19? Oh tidak. Kamar mandi yang super joroklah yang membuatku stres.


Kotor, bau pesing, dan airnya kecil. Sampah pampers, tisu, dan lain-lain terkumpul di pojok kamar mandi. Ketika siang datang, airnya suka mati. Belum lagi, kamar mandi laki-laki dan perempuan campur jadi satu. Risih nggak sih?


Pengen rasanya kabur. Sebab sampai 3 hari belum juga ada kepastian soal hasil swab PCR. Sebagai tes lanjutan dari swab antigen sebelumnya. Aku sampai membuat rute pelarian. Namun, demi menjadi warga negara yang patuh. Saya putuskan untuk menunggu saja meski psikologisku amat tersiksa.


Perlahan, aku mulai berdamai dengan keadaan. Aku pun berinisiatif untuk membuka obrolan dengan beberapa orang agar tak bosan. Tapi tindakan ini sepertinya salah. Setelah basa-basi sedikit, ujung-ujungnya obrolan selalu berakhir dengan pertanyaan ‘sudah nikah?'


Niatnya mau mengurai stres malah makin stres. Tengkorak pelipisku rasanya mau pecah. Seperti dipukul dengan palu besi. Sakit, dan sakitnya sampai ke ulu hati.


Aku pun memilih kembali menyendiri. Bermain HP sampai bosan.  Tidur, makan, dan ke kamar mandi yang bikin stresku makin menjadi-jadi.


Lomba Lari apa Lomba Nikah?


Hari ke-4, aku bisa sedikit menghembuskan napas lega. Akhirnya aku dipindahkan ke tempat karantina pasien covid-19 Kabupaten Bangkalan.


Menjelang magrib, namaku dipaggil oleh petugas. Tanpa ditunjukkan hasil swab PCR, aku bersama 4 pasien covid-19 lainnya diangkut menggunakan ambulance menuju ke tempat karantina. Tepatnya di Pusdiklat Bangkalan.


Kenapa tak kuminta saja hasil swab PCRku? Kondisinya terlalu riweh. Aku tak tahu harus bagaimana. Yang terpikir, aku hanya ingin keluar dari tempat yang membuat migrainku kambuh.


Alhamdulillah, di Pusdiklat Bangkalan tempatnya jauh lebih nyaman. Kamar mandi cukup bersih dan air melimpah. Tidur pun lebih nyaman karena ada kasur.


Kupikir penderitaanku akan berakhir. Rupanya belum. Namanya juga kumpul sama banyak orang ya?. Waktu itu satu kamar ada 7 orang. Kamarnya memang besar dan sangat luas untuk ditempati bertujuh. Kasur kami juga berjarak, jadi aman.


Selayaknya orang yang baru saling kenal. Kami pun sering mengobrol bersama. Pada satu sesi obrolan, ada sesi bercerita tentang keluarga. Aku memilih untuk tak banyak bicara. Aku takut ditanya soalnya.


Dan satu orang akhirnya bertanya, ‘kalau Mbaknya gimana? Suaminya tidak apa-apa?’. Pengen rasanya kutimpukkan kepalaku ke tembok.


Terpaksa deh menjawab dengan berat hati,  ‘saya belum menikah’. Tentu tetap dengan senyum paling manis.


Semua orang kemudian sibuk dengan urusan masing-masing. Seorang perempuan berumur 20-an awal kemudian bertanya. Kebetulan tempat tidur kami bersebalahan.


“Mbak, emang kamu umur berapa?” 

Perasaanku mulai tak nyaman. Mari berbohong saja. “Tiga puluh,” jawabku singkat. 

“Kok belum nikah Mbak? Masak kalah sama aku?”


Darahku seketika mengalir cepat. Nadi dan venaku sampai kelelahan. Perlahan kudekati perempuan muda itu. Kuusap rambutnya yang panjang dengan lembut.


“Adik cantik, rambutnya bagus ya? Mau dikepangin nggak?”. Tanpa menunggu persetujuan, tanganku langsung bergerak mengepang rambutnya dengan kuat. 


“Begini loh Dik. Kita kan lagi positif covid-19 ya? Biar sembuh imun kita harus kuat dong. Tapi kamu tahu nggak? Pertanyaanmu itu malah bikin imunku turun loh, Dik. Terus gimana aku mau sembuh kalau gitu? Bagaimana aku akan mencari jodoh kalau aku terus terkurung di sini?”


Tapi itu semua tak benar-benar kulakukan kok. Semua hanya terbersit di otakku saja. Begini kejadian sebenarnya. Kulempar senyum sinis pada perempuan muda itu. Lalu berkata, “ya mana kutahu, yang ngatur jodoh kan Allah.”


Dan perempuan muda itu hanya terdiam melihatku memasang wajah jengah. Gestur tubuh tak bersahabat. Dan nada bicara yang ketus.


Apa Kabar? Kamu Kapan Nikah?


10 hari lamanya aku menjalani masa isolasi. Tanggal 23 Juni, dokter memperbolehkanku pulang. Rasanya aku mau terbang saja saking senangnya. Senang karena sembuh dari covid-19.  Senang juga karena tak perlu lagi was-was ditanya ‘kapan nikah’.


Hari-hariku kembali berjalan normal. Mulai membuat perencanaan baru untuk berkebun dan menulis. Juni pun berlalu dan sampailah di pengujung Juli. Seorang teman lama tiba-tiba menghubungiku via chat WA. Sekitar pukul 09.00 malam.


Lepas bertanya kabar, temanku langsung bertanya, “gimana kamu wes nikah?”. Mengingat kita pernah bersahabat dekat. Kujawab pertanyaannya dengan santai, “belum sayang."


Mengetahui jawabanku, ia langsung memberikan tuduhan yang menohok. “Wah kenapa Luk? Pasti kamu milih-milih ya!”. Tambahnya kemudian, “cuma kamu dan ..... loh yang belum nikah?”. Oh My God, kali ini aku benar-benar marah. Kalau saja bisa, pasti sudah kugerogoti kabel charger laptopku.


Ya Allah, aku harus bagaimana lagi ini?. Kenapa sih orang-orang demen banget bertanya ‘kapan nikah?’. Apa begitu lumrahnya bertanya hal-hal privacy?


Lagian ya, kalau pun aku belum menikah lantaran pemilih. Emangnya kenapa? Ya itu, bakalan jadi perawan tua! Ya terus kenapa kalau aku jadi perawan tua?


Jika itu resiko yang memang harus kutanggung. Yang nanggung kan aku? Bukan mereka? Kenapa jadi mereka yang ribet? Toh aku tak menyusahkan mereka kan?


Lagian, nikah itu bukan lomba lari toh? Nggak harus cepet-cepetan. Kalau pun iya lomba. Ya sok, monggo duluan. Aku tak masalah jika harus menjadi pihak yang kalah. Sumpah.


Tak lagi bisa menahan diri. Aku pun membuat status panjang lebar di WA. Sampai banyak japrian yang masuk. Sedikit kusesali, tapi ya sudahlah. Aku tetap tak berniat untuk menghapusnya. 


Yang Kamu Lakukan Itu Jahat, (Bukan) Rangga!


Aku menceritakan kejadian di malam 31 Juli 2021 pada Izza. Dia adalah keponakanku, anak dari sepupuku. Tapi kami sepantaran. Usia kami selisih 2 tahun saja.


Soal jodoh, nasib kami hampir sama. Sama-sama belum menikah. Izza pun menceritakan sesuatu kepadaku. Ada selentingan jahat yang sampai ke telinganya.


“Kamu tahu nggak Mbak Luk? Ada salah satu saudara kita yang bilang kalau ia kasihan sama emmokku –ibuku–. Sudah bercerai sejak aku dilahirkan. Sampai sekarang beban hidupnya belum juga selesai. Masih hidup dalam kemiskian dan anak perempuannya belum juga menikah. Ia bingung, entah apa yang membuat doa-doa emmokku tak terkabul.”


“Hah? Gila apa dia? Sejak kapan dia jadi wakil Tuhan? Bisa jadi penentu doa seseorang terkabul apa tidak. Lagian nih ya, sejak kapan kita jadi beban orang tua? Sejak kecil kita tak segan-segan membantu mereka. Pergi ke pasar jual buah. Cari kayu bakar buat masak. Dan menimba air buat mandi. Masa-masa sekolah pun kita tak macam-macam.


Kita patuh dan mau menyelesaikan pendidikan meski kita tak bisa sama dengan teman-teman lain. Uang jajan sedikit bahkan kadang tak ada. Bayaran SPP sampai nunggak-nunggak. Saat dewasa kita juga tetap bekerja keras. 


Kita sampai merantau ke Depok. Oke, sekarang kamu sedang mencari pekerjaan. Penghasilanku dari menulis juga tak seberapa. Tapi kita tak pernah kan minta aneh-aneh? Harus makan enak dan sebagainya. Kita hidup dan makan seadanya. Karena kita sadar kita belum bisa memberi lebih ke orang tua. Lalu kita jadi beban dari mananya?” Aku mengomel panjang lebar.


“Mungkin maksudnya beban pikiran,” tutur Izza.


Aku terdiam. Baiklah untuk ini ada benarnya. Bagi sebagaian orang tua di Indonesia. Kebahagian terbesar mereka adalah melihat anaknya berkeluarga. Mungkin, begitu juga dengan orang tuaku. Tapi bagaimana pun, mengatakan doa orang lain tak terkabul itu gendeng namanya.


“Siapa sih orangnya?” tanyaku kemudian, penasaran.


“Sudahlah, nggak usah kusebutin namanya,” Izza berkata dengan nada lesu. 


“Aku kenal orangnya?” Aku kembali bertanya. Aku mau mencari clue agar bisa menebak orangnya. 


“Iyalah, dia kan masih saudaraan sama kita.”


“Cowok apa cewek?”


“Cowok.” 


Ah speechless Aku. Benar ya, cowok julid lebih parah dari cewek julid. Tapi siapa orang itu? Aku tak bisa menebaknya. Anggap sajalah dia bukan Rangga. Tapi kelakukannya sama jahatnya dengan Rangga. 


I’m Done But I’m Still Unstoppable and I’ll Be Oke


Lanjut ya certianya! Tadi aku berhenti sejenak loh. Sekitar 10 menitan. Biar tidak terbawa emosi.


Aku tidak mau tulisanku ini berujung omelan. Niatku sedari awal adalah untuk mengakhiri gejolak dalam diri saya.


Jadi, setelah perbincangan panjang bersama Izza. Keesokannya saya langsung membuat status di FB. 


Aku menulis status cukup panjang untuk ukuran FB. Aku bertekad untuk melawan segala pemikiran yang masih menganggap sebelah mata perempuan 30-an yang belum menikah. 


Aku menilai FB lebih efektif. Banyak kenalanku di sana. Jumlah orang yang membaca tulisan panjang di FB dimungkinkan juga lebih banyak. Aku merencanakan untuk membuat tulisan bersambung.


Tapi, setelah aku posting  tulisan pertama. Dadaku terasa hampa, seperti ada yang hilang. 


Aku tak nyaman menulis di FB. Lebih tepatnya, aku tak nyaman harus membuat banyak status tentang hal ini di FB. Inginnya, menulis sekali langsung selesai. Tapi itu tidak mungkin kalau di FB.


Selang beberapa hari, kuhapus status itu. Agar aku lebih tenang. Kuputuskan untuk menulis di blog saja. Sekali tulis dan semuanya harus selesai.


Aku menumpang blog temanku. Mbak Mal, begitu aku memanggilnya. Sebab blogku (kopijagung.com), sudah kukhususkan untuk membahas gardening dan tanaman. 


Sungguh, I’m Done


Sebelum menulis, aku berpikir cukup lama. Apa sebenarnya akar masalah dari pertanyaan ‘kapan nikah?’. Kenapa aku begitu tersinggung dan begitu marah saat ada orang menanyakan hal tersebut?


Secara sadar, aku ini ya biasa saja jika ada yang bertanya, “sudah nikah?”. Cuma, yang sering terjadi, orang tidak bertanya dengan empati.


Cenderung mencampuri urusan pribadi, menghakimi, dan mencemooh di belakang. Menganggap yang belum menikah perawan tua lah, tak laku lah, pemilih lah, terlalu sibuk lah, mentingin karir lah, mandirinya berlebihan lah, kurang usaha lah, dan doa tak diijabah lah. Gedeg kan jadinya?


Saat ini, aku sudah di tahap I’m ok being single. Kondisiku juga lebih stabil untuk menghadapi pertanyaan ‘kapan nikah?’


Tak seperti dulu sewaktu saya masih di Depok. Sebel banget sampai ke ubun-ubun kalau ada yang tanya ‘kapan nikah’.


Apalagi kalau sampai ada yang menghakimi. Aku sudah pasti menyalahkan diri sendiri dan menangis di kamar kontrakan.


Apakah artinya aku sudah bisa bersikap dewasa? Bisa jadi. Yang jelas, aku sudah bisa menerima kenyataan bahwa aku belum juga menikah. Sementara teman-temanku yang lain sudah pada punya anak.


Sekarang aku juga lebih cuek orangnya. Bodoh amat dengan pandangan orang lain. Tapi kenapa akhir-akhir ini aku kembali marah saat ada orang yang bertanya kapan nikah?


Sepertinya, masalahnya bukan di pertanyaan ‘kapan nikah’ deh. Bukan pula karena aku tak kunjung menikah. Rupanya, jauh dalam diriku. Tersembunyi ego yang enggan untuk disalahkan, dihakimi, dan dihina.


Sepatutnya manusia biasa. Aku bisa marah saat keputusanku dihakimi, kondisiku disalahkan, dan harga diriku dihina. Siapa juga yang tak marah kalau begitu?


Maka, saat aku mendengar selentingan miring karena belum juga menikah. Dituduh pemilih dan sebagainya padahal tuduhan itu tak sepenuhnya benar. Diberondong pertanyaan yang sama bertubi-tubi. 


Amarah langsung membuncah. Aku tak terima. Aku mau melakukan pembelaan. Di lain sisi, egoku yang terdalam juga menuntut orang untuk melihat sisi lain dari diriku. Aku ingin berkata seperti ini. 


Come on! Aku memang belum menikah. Tapi, bukankah banyak hal positif lainnya yang kumiliki? Lagian, aku tak menghabiskan masa kesendirianku dengan hal-hal buruk kok. Narkoba misal. Mencuri misal.


Tapi aku sadar. Mau berkoar-koar seperti apapun, percuma saja. Aku tak punya kuasa untuk mengubah cara pikir orang lain. Karenanya, untuk kasus pertanyaan ‘kapan nikah’ ini. Aku nyatakan, i’m done. 


Aku tak akan lagi mempermasalahkannya dan mengeluhkannya. Bodo pisan, sama hinaan dan penghakiman orang. Baik yang disampaikan secara diam-diam maupun yang terang-terangan.  


Pokoknya, aku ora bakal perduli maneh. Tulisan ini, harus menjadi keluhanku yang terakhir kalinya.  


I’m Still Unstoppable dan Akan Selalu Seperti Itu


Apakah aku sudah tidak ingin menikah? Jujur saja, dari hati terdalam. Aku tetap ingin menikah. Punya keluarga kecil, suami dan anak-anak yang lucu.


Kalau begitu jangan jadi pemilih, biar segera dapat jodoh. Eits... tunggu dulu. Maaf-maaf nih ya. Maksudnya pemilih begimane? Asal terima gitu ja maksudnya?


Sory, untuk hal itu, tegas aku katakan tidak. Aku tetap akan memilih kalau soal jodoh. Jangan sampai karena aku merasa sudah tua. Lalu aku sembarangan menerima lamaran orang. 


Lagian, semua orang juga memilih. Iya kan? Lalu kenapa aku tidak boleh? Seng penting aku milihnya bener gitu loh. Tidak yang aneh-aneh. 


Harus turunan alim ulama, orang kaya, kalau bisa pitar, gatengnya kayak Lee Min Ho, dan kriteria tinggi lainnya. Aku tahu diri kok.


Nih ya. Aku tuh sampai diskusi sama temen karibku yang di Depok. Aku kasih tahu dia kriteriaku. Terus aku minta pendapat. Masih tahap wajar tidak sih kriteriaku itu? Apa kata temenku?Wajar lah L. Kriteriamu itu ya standart semua orang. 


Jika dengan pembelaan ini aku masih dicap pemilih, ya tak apa. Anggap saja ini konsekuensi kehidupan yang harus aku tanggung. Tapi karena aku perempuan kuat. Aku pasti bisa menghadapinya. 


Ke depan, aku masih akan jadi perempuan yang unstoppable. Aku akan terus berkarya. Aku akan terus menulis dan berkebun.


Jika aku masih dianggap terlalu ambisius. Ya biarlah. Aku memang dididik oleh ibuku untuk menjadi pejuang kehidupan sedari kecil.


Aku tak akan berhenti hanya karena takut dibilang terlalu ngejar karir dan lain-lain. Sebab, itu benar-benar tak ada hubungannya sama sekali. Lagian malah bagus toh. Aku menunggu jodoh sambil terus melakukan hal-hal positif. 


Aku Akan Pastikan, I’ll Be Oke


Di luar sana, masih ada beberapa orang tua yang menganggap anak perempuannya aib jika belum juga menikah. Mereka lebih takut pada pandangan dan hinaan orang lain ketimbang kebahagiaan anaknya. 


Sampai-sampai mereka tak segan-segan mengeluarkan kata-kata kasar saat mendesak anaknya untuk menikah. Sementara anaknya sendiri bingung harus menikah sama siapa. 


Alhamdulillah, orang tuaku tak begitu. Mereka tak pernah mengeluarkan kata-kata menghina apa lagi memaksaku untuk menikah dengan sembarangan orang yang aku tidak berkenan. 


Apakah mereka baik-baik saja? Terutama ibuku? Tentu tidak. Aku sadar betul, dalam hatinya, ibu akan lebih tenang jika aku menikah. 


Tapi dia juga paham, memang jodohku saja yang belum datang. Jadi dia tidak pernah mendesakku untuk cepat-cepat menikah. Aku sangat bersyukur atas sikap bijak ibuku ini. 


Lalu apakah aku tenang-tenang saja? Yo tidak. Perasaan ibu adalah salah satu hal yang amat sangat aku pikirkan. Bagaimanapun aku ingin ibu bahagia. Dan salah satu kebahagian ibuku adalah melihatku menikah. 


Tapi mau bagaimana lagi, aku memang belum bertemu dengan jodohku. Banyak upaya yang sudah kulakukan. Tak bisa kuceritakan di sini upaya apa saja yang telah kulakukan. 


Tak elok buatku untuk bercerita secara gamblang. Sebagian cerita menyedihkan, sebagian yang lain sangat memalukan. Sampai-sampai aku hanya berani bercerita kepada teman dekat saja.


Jadi, ya wes lah. Aku tetap akan dihina, dihakimi, dan dituduh-tuduh sebelum aku menikah. Tapi aku berjanji, aku akan baik-baik saja dengan semua itu. Perkara ibuku, semoga Allah menenangkan hatinya. 


Aku, Perempuan 30-an yang Belum Menikah 


Aku sudah kenyang dengan pertanyaan ‘kapan nikah?’. Aku juga sudah bosan dengan segala tuduhan dan anggapan miring yang ditujukan padaku. 


Tapi aku sadar. Aku tak bisa mengubah pikiran banyak orang. Yang bisa kuubah adalah sikapku dalam menghadapi tuduhan dan anggapan miring tersebut. 


Aku tak akan lagi mengeluh. Tak aka lagi marah. Tak akan lagi tersinggung. Jika ada yang bertanya ‘kapan nikah’ tanpa rasa empati. Sekali pun pertanyaan juga disertai dengan tuduhan dan hinaan.  


I’m done but i’m still unstoppable and I’ll be ok. Tetap semangat Luluk. Kamu hebat karena sudah berjalan sajuh ini dalam hidupmu. Teruslah berjuang dan semoga segera bertemu dengan jodoh terbaik. Aamiin.


Buat kamu, terima kasih karena sudi membaca curhatanku yang panjang ini. 

Be First to Post Comment !
Posting Komentar

EMOTICON
Klik the button below to show emoticons and the its code
Hide Emoticon
Show Emoticon
:D
 
:)
 
:h
 
:a
 
:e
 
:f
 
:p
 
:v
 
:i
 
:j
 
:k
 
:(
 
:c
 
:n
 
:z
 
:g
 
:q
 
:r
 
:s
:t
 
:o
 
:x
 
:w
 
:m
 
:y
 
:b
 
:1
 
:2
 
:3
 
:4
 
:5
:6
 
:7
 
:8
 
:9