5 Renungan Singkat Perjalanan Penuh Drama

Senin, 29 Juli 2019

Pagi Penuh Drama dan Perjuangan


Hayo, ngacung!

Siapa nih ibu-ibu yang pagi harinya penuh drama? Saya dong bakalan ngacung pertama kali. Hehehe
.
Bagi seorang ibu, pagi penuh drama bukanlah hal baru lagi. Bahkan sehari-hari, dunia ibu memang  selalu menegangkan. Selalu saja ada kejadian-kejadian tak terduga bersama si kecil yang bikin emosi meningkat. Apalagi jika memiliki anak kecil yang usianya berdekatan. Wuih, bisa dibayangin dong ya, betapa rempongnya Emak tiap pagi. Hehehe

Tepatnya kemarin, drama melankolis dua bocah pun dimulai saat saya mau menitipkan mereka ke Mbah Buyut untuk acara seminar ke Surabaya.

Sejak pukul 03.00 WIB, saya sudah mulai menyelesaikan kerjaan dapur. Mulai dari memasak, menyiapkan makanan untuk sarapan kakak Arya dan juga bekal makan untuk si Adik Khanza. Harapannya, ketika anak-anak sudah bangun semua kebutuhan mereka telah siap tanpa merepotkan mbah Buyut lagi. Saya pun bisa meluncur ke Surabaya dengan tenang.

Rencana awal, saya akan menggunakan moda kereta api yang berangkat pukul 06.15 WIB dari Statiun Lamongan kota.
Namun faktanya, rencana yang sudah tersusun sempurna pun batal juga.

Padahal, semua perlengkapan untuk seminar telah siap. Tetapi saat membuka pintu, mendadak duo bocil bangun dan berlari ke arah ibunya yang sudah cantik jelita. Mereka merengek meminta saya untuk berangkat nanti saja agar bisa mengantar ke sekolah lebih dulu.

"Bu, ibu boleh berangkat. Tapi anterin dulu Mas sama adik ke sekolah," pinta si sulung.

"Baiklah, Ibu berangkat nanti dan antar kalian sekolah dulu, ya."

Mereka tersenyum. Dan si adik bertanya kembali, "Ibu, Ibu pulang kapan?"

“Ibu nggak lama. Sore juga sudah pulang kok, Nak, InsyaAllah, sebelum isya ya," jawabku pada si bungsu.

Tak lama, kami bertiga bersiap berangkat ke sekolah. Tidak seperti biasa, dua bocil nampaknya mengerti kalau ibunya sedang tergesa-gesa. Tanpa rewel dan ribet.

Saya pun mulai mengantar si Adik terlebih dahulu ke sekolah. Setelah adik tenang di kelas, saya menghampiri si kakak yang ada di rumah, kemudian mengantarkannya ke rumah gurunya.

Iya, saya sengaja menitipkan Arya pada gurunya. Tak lain agar nggak kepikiran ninggalin bocah sekolah sendiri, tanpa saya jemput. Karena jarak antara rumah ke sekolah cukup jauh. Saat pulang nanti, saya juga meminta tolong pada gurunya untuk mengantarkan ke rumah.

Well, urusan rumah sudah kelar. Saya memanggil tukang ojek untuk mengantarkan ke jalan utama yang dilalui bus kota. Tepat pukul 07.30 WIB, saya siap melakukan perjalanan sekitar 2 jam dari Lamongan-Surabaya dengan naik Bus.

Sampai di sini, ada hal yang bisa saya renungkan. Yaitu tentang sebuah perencanaan yang gagal. Dimana manusia mampu merencanakan apa pun dalam hidupnya. Sekalipun itu perihal masa depan. Tapi ingatlah, Allah yang menentukan apa yang terbaik dan tidak.  

Belajar Tak Kenal Usia


Perjalanan Lamongan-Surabaya aman dan lancar. Meski weekend, jalanan Surabaya tidak padat merayap. Berkat bantuan grabbike yang cekatan, saya pun hanya terlambat setengah jam untuk sampai di tempat seminar. Beruntung, materi belum di mulai oleh pemateri.

Dengan rasa bahagia membuncah mampu belajar ilmu lagi dengan ahlinya, yaitu Reffi Dinar, salah satu content writer yang akan membagikan rahasianya berpenghasilan di usia muda dengan menulis. Berlokasi di Geco Coworking Space Jl. Ratna 14 Surabaya (Kompleks AJBS).

Seminar tersebut GRATIS karena para peserta tidak dipungut biaya Sepeser pun. Meskipun judulnya gratis, ilmu yang dibagikan Mbak Reffi daging banget. Bertema CREATIVE WAYS FOR CONTENT WRITING dengan beberapa poin pemaparan sebagai berikut: 

  1. Pondasi Content Writing
  2. Membangun Branding
  3. Business Insight dari Content Writing
  4. Pengenalan Kelas Content Lanjutan
  5. Diskusi Komunitas FAM Surabaya
Dengan poin-poin yang padat, suasana ruangan terbuka, dan seminar yang berlangsung tidak begitu serius, membuat saya dan peserta lainnya begitu nyaman dan bebas bertanya apa saja. Sesekali juga diselingi guyonan dari peserta dan mentor sendiri, sehingga acara seminar tampak mencair.

Dalam sesi pemaparan materi, Mbak Reffi juga bercerita bagaimana beliau memulai karir menjadi content writer dari tahun 2012 sampai sekarang. Bagaimana bisa dia membayar biaya kuliah dari penghasilan menulis dan menjadi seorang interpreter bahasa Jepang. Bahkan artikel pertamanya dulu, dia menyampaikan pernah dibayar sekitar 10.000-20.000 untuk satu artikel sebanyak 500 kata.

Poin yang perlu digaris bawahi dari perjalanan menulis Mbak Reffi adalah sejatinya usia tua maupun muda bukanlah penentu kesuksesan seseorang. Tetapi ketekunan dan perjuangan gigih untuk mencapai sukses tersebut adalah kuncinya.

Dan seminar diakhiri dengan sesi foto bersama peserta dan mentor. Tak hanya itu, saya dan beberapa teman dari komunitas online pun saling bercengkrama dengan akrab. Tak lupa, penutupan pertemuan juga diakhiri dengan selfie narsis abisss.

Cak Imam, Guru Kehidupan yang Gigih Berjuang dan Pandai Bersyukur


Bagaimana perjalanan selanjutnya menelusuri Surabaya? Apakah sudah berakhir?

Eits ... tunggu dulu!

PERJALANAN di Surabaya belum berakhir sampai di situ. Karena sedari awal sudah niat pulang ke Lamongan dengan naik kereta api Sulam di sore hari, setelah seminar content writing saya menuju ke Royal Plaza untuk menyantap kuliner Surabaya.

Lagi dan lagi grabbike memudahkan perjalanan saya dari AJBS menuju Royal Plaza yang berlokasi di Jalan Ahmad Yani. Meski tujuannya hanya mampir untuk makan di daerah Ketintang, sejatinya saya bukan sekadar makan.

Memilih menyantap kuliner di bakso langganan saat kuliah dulu, yaitu kedai bakso Cak Imam yang terletak di sebelah kiri jalan Royal Plaza jika dilalui dari Jl. Ahmad Yani menuju arah Ketintang. Saya banyak berbagi cerita dengan Bapak separo baya, yang namanya lebih akrab dengan sebutan Cak Imam tersebut.


"Jualan bakso di Surabaya sejak tahun 1889, Mbak.  Bapak di sini orang perantauan. Aslinya orang Jombang," katanya.

"Dulu, Bapak jualan keliling baksonya. Tapi sejak tahun 2006 Bapak mulai kontrak rumah di sebelah rumah ini. Pindah 3 kali dan terakhir di sini," tambahnya

Saya terharu dengan perjuangannya sebagai seorang perantau yang tak kenal lelah mengais rezeki di kota besar seperti Surabaya. Tidak cukup mudah untuk membesarkan barang dagangannya karena penjual bakso dan mie ayam hampir menjamur di sekitar Cak Imam tersebut.

Belum lagi gaya konsumtif masyarakat Surabaya yang cukup tinggi dan lumayan branded, lebih suka memilih makan di dalam mall dibanding warung makan di luar mall. Secara tidak langsung kedai di pinggir jalan bukan menjadi target kuliner beberapa orang tersebut.

"Rezeki sudah ada yang mengatur, Mba. Bapak bersyukur dari jualan bakso ini bisa menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi. Anak pertama memang nggak mau kuliah. Dan anak kedua ini setelah mondok di Jombang, dia ingin kuliah jurusan Ushuludin."

Wuah, saya mendadak tertampar. Seringkali saya lupa untuk bersyukur dengan rezeki yang sudah dikirim oleh Allah. Dan dari Cak Imam ini, saya belajar untuk pandai bersyukur karena rezeki sudah ada yang mengatur. 

Obrolan dengan Pak Imam memang benar-benar bergizi. Sampai saya lupa, tujuan ke Royal Plaza untuk membeli buku diskonan di Gramedia. Hehehe 
Akhirnya, saya pun berpamitan dan membayar bakso lezat yang sudah saya makan hampir satu jam.

Serunya Berburu Diskon Buku Anak dan Nonfiksi


Melangkah dengan penuh semangat meskipun dompet kosong. Yang penting berburu diskon buku. Kapan lagi bisa mendapatkan bacaan bergizi dengan harga yang super terjangkau. Iya nggak?

Sebelum masuk ke toko buku, saya mampir sebentar ke Musala yang tak jauh dari Gramedia. Beberapa menit kemudian, dengan lincah saya langsung menuju stand buku anak yang ada di depan Gramedia. Walaupun judulnya diskonan, buku-buku yang dipajang bukanlah buku anak murahan. Memang terbitan lama, tapi untuk bahan bacaan bergizi lebih dari kata layak.

Nah, karena nggak mau semakin kalap belanja buku anak, saya memutuskan untuk membeli dua buku saja yang memang saat ini dibutuhkan si kakak dan adiknya. Dan taraaa ....

Ini dia dua buku tersebut. Berjudul "Aneka Percobaan Ilmiah untuk Anak" karya Ika Safitri Ningsih dan "Cari Tahu Asal Usul" karya Ulfah Nurhidayah.


Setelah asyik berburu diskon di buku anak, saya memutuskan untuk masuk ke Gramedia bagian dalam untuk mencari buku nonfiksi. Awalnya, banyak buku yang menarik untuk dibeli. Tapi saya hanya mengambil satu dari sekian buku yang memang sedang saya butuhkan. Yaitu lagi-lagi tentang buku pengembangan diri genre nonfiksi yang berjudul "Succes Protocol" karya Bang Ippho Santosa.


Tak dimungkiri memang, buku nonfiksi masih menjadi juara di hati saya. Makanya, setiap kali mampir ke toko buku, rak pertama yang bakalan saya hampiri adalah nonfiksi. Hehehe

Dan karena terlalu nyaman, saya jadi lupa waktu jika kereta Sulam Surabaya-Lamongan akan berangkat pukul 16.40 WIB. Sedangkan saat itu, arah jarum jam telah menunjukkan angka 15.45 WIB. Artinya, saya harus buru-buru pergi sebelum ketinggalan kereta.

Sambil berlari sedikit ngos-ngosan, 10 menit cukup untuk menunaikan ibadah sholat asyar. Kemudian, saya menuju ke jalan raya untuk menunggu kedatangan Bus kota Bungur-Stasiun Pasar turi.

Namun, siapa sangka jika bus yang saya tunggu tersebut ternyata lama sekali datang. Akhirnya, seorang perempuan cantik dengan anak lelakinya menawarkan ikut naik bus Tayo. Bus Tayo atau bus Suroboyoan ini unik sekali karena cara membayarnya harus menggunakan sampah atau kupon yang nantinya akan ditukarkan tempat duduk.

Bus Tayo bagian dalam

Nah, sementara saya nggak punya sampah dan kupon. Lantas bagaimana?

Jawabannya, perempuan cantik yang membawa anaknya tadilah yang membantu saya. kami pun naik. Sambil terus melirik jam berkali-kali agar tidak panik ketinggalan kereta. Antara cemas dan senang. Tapi cukup dinikmati saja. Hanya saja, di situ lagi-lagi saya merenung. Kok bisa gampangin banget. Padahal saya jelas tahu, jika Surabaya saat weekend itu padat kendaraan.

Hanya gara-gara nyaman di toko buku, saya jadi lupa pulang. Hehehe
Satu hal yang bisa dijadikan pelajaran bahwa kenyamanan terhadap sesuatu yang berlebihan ternyata memiliki dampak yang kurang bagus. Kita bisa melupakan sesuatu yang sebelumnya sudah menjadi prioritas akibat pikiran hanya terfokus pada satu hal. 

Dan benar, saking fokusnya di gramedia dengan berbagai jenis buku menggiurkan, saya ketinggalan kereta sore itu. Padahal, saya sudah berusaha maksimal dengan meminta bapak tukang becak untuk menerobos macet setelah turun dari bus Tayo.

Nyesek banget rasanya. Saya termakan oleh kecerobohan sendiri. Dan mau nggak mau, saya putar balik ke terminal bungurasih naik bus ke Lamongan. Sementara wajah dua bocah di rumah sudah terngiangngiang di depan mata. Janji yang saya ucapkan pulang sebelum isya sepertinya juga gagal.

Bagaimana tidak, bus kota yang biasanya cukup satu jam saja sampai di terminal, menjadi lamban sekali. Sekitar 1,5 jam harus kena macet di jalan. Jadi tak ada celah sedikitpun untuk bus kota bisa lewat. Yang bikin kesel, Handphone saya mati kehabisan baterai. Jadi, saya pun tidak dapat menghubungi keluarga di rumah untuk memberitahu akan pulang terlambat.

Belajar Sebuah Kesabaran dari Sosok Sederhana Bernama Mbak Darmani


Singkat cerita, Bus kota Surabaya-Semarang mengalami perubahan jadwal dikarenakan jalan utama Lamongan ada perbaikan. Jadi, jalur dialihkan ke arah Pantura, Tuban.

Duh, saya mendadak lemas. Saya bakal pulang naik apa coba. Pengen mewek aja waktu itu. Ditambah keinget dua bocil di rumah yang pastinya menunggu emaknya pulang.

Tak lama, seorang kondektur menyarankan saya untuk naik bus kota Surabaya-Bojonegoro. Bus kota satu-satunya yang kemungkinan akan melewati jalur Lamongan kota. Nah, saya senang banget dengarnya. Akhirnya, saya bisa pulang, meski terlambat.

Namun, lagi-lagi saya kurang beruntung. Benar bus kota tersebut melewati jalur Lamongan kota. Tapi cukup di Lamongan kota saja. bus tersebut tidak melewati jalan utama di mana saya tinggal. Duh, pusing dong saya. Pukul 21.00 WIB nih, apa ada kendaraan lagi?

Pikiran bingung dan kondisi HP mati total. Tak ada yang bisa saya minta tolong untuk menghubungi keluarga. Antara kesal, pengen nangis, dan marah bercampur jadi satu. Hiks...

Akhirnya saya memutuskan untuk menginap saja di kos ibu kos dulu saat masih tinggal di Lamongan kota. Besok subuh pulang supaya sebelum anak-anak bangun tidur, saya sudah standby di rumah.

Terkesan maksa ya? Harus dipaksa karena saya telah terlanjur janji pada anak-anak tidak menginap. Biasanya kalau sudah janji, anak-anak akan menunggu emaknya pulang. Mengingat itu semua, rasanya saya ingin marah dengan diri sendiri yang masih suka ceroboh.

Ya sudah. Daripada mengeluh, tanpa pikir panjang saya putuskan memesan grabbike di seberang jalan. Akan tetapi ada seorang ibu tiba-tiba saja menghentikan langkah saya, dan mengajak ngobrol sebentar. Ternyata kita satu kecamatan pemirsa.

Wah, saya seneng banget jadinya. Dan tahu nggak, si Ibu bilang apa? Dia bilang, suaminya nanti yang akan mengantar saya sampai rumah.

Saya terharu. Ini sebuah keajaiban. Di saat saya menyembunyikan rasa takut pulang malam dengan area jalan menuju rumah cukup horor, karena jalanan tersebut rawan begal motor, Allah mendatangkan bantuan di saat yang tepat.

Akhirnya, kami berdua beranjak naik bus kota yang kebetulan melewati arah ke kecamatan Sukodadi. Jarak yang lumayan dekat dengan alamat kami.

Ibu tersebut lebih akrab dipanggil Mbak Darmani. Seorang buruh pabrik di Gresik yang baru saja 4 bulan bekerja lantaran suaminya sakit parah. Dia meminta izin sang suami untuk bekerja, padahal sebelumnya dia hanyalah ibu rumah tangga yang tahunya memasak, mencuci, mengurus rumah, anak, dan suami saja.

Namun, ujian hidup menantangnya menjadi wanita tangguh sebagai kepala rumah tangga menggantikan posisi suaminya yang tidak lagi mampu bekerja berat.

Sebab, tiga bulan sebelumnya sang suami pernah melakukan operasi lambung bocor yang mana penyakit tersebut sudah 21 tahun bersarang di tubuhnya. Hanya saja, karena belum ada biaya untuk berobat, Pasangan suami istri tersebut hanya bisa berikhtiar meminta kesembuhan pada Sang Pencipta.

“Selama menikah, aku tidak pernah menuntut banyak tentang penghasilan suami, dik. Diberikan uang berapa pun, aku terima. Hampir 24 tahun, kami tidak pernah bertengkar. Meski hanya tukang ojek, suamiku adalah laki-laki bertanggungjawab terhadap keluarga dan rajin ibadah. makanya, aku heran di usia 40 tahun aku masih diterima bekerja di pabrik," katanya.

Seketika saya mbrebes mili mendengar ceritanya. Mbak Darmani tipe perempuan menerima. Dia bersyukur berapa pun rezeki yang dikasih oleh Allah. Ujian sakit yang diidap sang suami selama 21 tahun pun dijalani dengan sabar.

Saya tertampar. Sangat tertampar dengan sifat legowo mbak Darmani dalam menjalani hidup. Di mana dia mengibaratkan Urip neng dunya mung mampir ngombe. Jalani dan syukuri saja takdir dari Sang pencipta. Kita cuma lakon drama di dunia.  Jadi, Kudu ikhlas lan sabar. 

Memang benar, kita hanyalah lakon kehidupan yang diminta untuk memainkan drama di dunia. Manis dan pahit, suka maupun duka harus dijalani dengan penuh kesabaran.

Semakin ke sini saya mulai merenungi bahwa setiap perjalanan ada sebuah kisah sederhana.

Kita hanya diminta sedikit peka dengan sekitar, agar mampu memetik hikmah dalam setiap perjalanan.

Mungkin memang sedikit penuh drama, tapi saya yakin kejadian terlambat kereta, bertemu dengan cak imam, Mendengar kisah Mbak Darmani, sampai diantarkan pulang suami Mbak Darmani sampai rumah dengan selamat bukan sebuah kebetulan.

Jika dipikir, kok mau ya padahal kami nggak ada hubungan kerabat.

Ya. Itulah keajaiban. Tentunya ada benang merah di masa lalu dan sekarang. Mungkin saja ada satu kebaikan kita yang memancing keajaiban tersebut bisa datang.


Semoga bermanfaat.

Salam cinta dan damai dari kota Lamongan ^_^
Be First to Post Comment !
Posting Komentar

EMOTICON
Klik the button below to show emoticons and the its code
Hide Emoticon
Show Emoticon
:D
 
:)
 
:h
 
:a
 
:e
 
:f
 
:p
 
:v
 
:i
 
:j
 
:k
 
:(
 
:c
 
:n
 
:z
 
:g
 
:q
 
:r
 
:s
:t
 
:o
 
:x
 
:w
 
:m
 
:y
 
:b
 
:1
 
:2
 
:3
 
:4
 
:5
:6
 
:7
 
:8
 
:9